Kamis, 11 Februari 2010
Kehamilan di usia 40 tahun keatas
Ketika saya hamil anak ketiga tahun 2004 dan bayi lahir Juni 2005, saat itu usia saya 36 tahun. Pada masa kehamilan rutin periksa di dokter ahli kandungan yang disebut Ginekolog (dalam bahasa Yunani Gineka artinya wanita). Saat memasuki semester ketiga kehamilan, dokter kandungan menyarankan saya mengadakan test Alfa Fetoprotein (AFP test) untuk melihat apakah cabang bayi ada kelainan down syndrom. Biasanya test ini mengambil cairan amino dengan jarum yang disuntikan dalam placenta fetus. Karena saya yakin tidak ada keturunan down syndrom dan saya merasa usia 36 tahun saat itu belumlah terlalu tua untuk melahirkan bayi lagi. Alhamdulillah anak ketiga saya lahir dengan cara normal dan bayinya pun normal tanpa cacat.
Januari 2010, usia saya memasuki angka 42 tahun. Setelah melahirkan anak kedua dan ketiga, saya tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi, karena saya melihat ada efek samping masing-masing alat kontrasepsi. Disamping itu saya pernah diskusi dengan dokter kandungan saat meminta surat rujukan untuk tes pap, soal efek samping alat kontrasepsi. Bahkan disebutkannya sistem kalender pun sebenarnya tidak aman, sebab pasangan bisa kebobolan. Jawabannya cukup masuk akal. Setelah menstruasi terakhir 26 Desember 2009, hingga akhir Januari 2010 belum datang juga. Akhirnya saya meminta suami membeli test pack untuk tes kehamilan sendiri di rumah. Sore hari itu saya lakukan tes dan hasilnya positif. Kaget juga sebab usia 42 tahun dan hamil lagi?
Keesokan harinya saya ke laboratorium untuk melakukan tes β -HCG (Human chorionic gonadotrophin) adalah hormon glycoprotein yang muncul segera setelah setelah terjadi konsepsi atau kehamilan. Hasilnya β-HCG saya 2167 artinya kehamilan memasuki minggu kelima. Walau pun hasil perhitungan masa kehamilan yang tepat dihitung saat tanggal awal menstruasi terakhir. Segera saya memberi tahu suami dan saya langsung meminta perjanjian pertemuan dengan ahli kandungan di kliniknya. Bukan kondisi usia saja yang membuat saya khawatr tetapi kondisi saya sejak tahun 2008 jantung saya ditutup implant karena saat itu diagnosa Patent Foramen Ovale.
Hasil diskusi dengan ahli kandungan, kehamilan saya bisa menimbulkan trombofilia atau penyumbatan darah terutama terjadi di kaki. Memang sejak 20 Januari lalu saya sering merasa kesemutan di kaki, walau pun saya sudah melakukan banyak gerakan di kaki tetap saja masih kesemutan. Saat itu saya tidak tahu bahwa saya hamil. Langsung saya menelepon dokter ahli jantung yang menangani, DR Koustopolous seorang ahli bedah jantung yang bergolongan A (golongan tertinggi ranking dokter yang bekerja di RS negeri milik pemerintah di Yunani). Sarannya saya harus menemui dokter ahli syaraf (nefrologos) sebab dikhawatirkan akan ada stroke baru di kepala. Masuk ke RS diminta suami menelepon ambulans, di Yunani tinggal menelepon 166 ambulanse langsung datang jika Anda dalam keadaan darurat atau sakit berat. Semua layanan gratis dari ambulans, dokter, obat, rawat inap dan segala macam tes-tes canggih. RS di Athena milik pemerintah direnovasi sejak 2004 berlangsung Olimpiade di Yunani. Saya menolak menggunakan ambulans sebab saya masih bisa jalan dan yakin diluar sana banyak pasien gawat butuh ambulans juga saat itu. Suami terpaksa ambil cuti dari kantor dan mengantar saya ke RS, cukup lama antri sebab nomor antrian berdasarkan jenis masalah. Ada 10 dokter ahli berbagai bidang yang menangani pasien dalam ruangan khusus.
Oleh dokter saya disarankan rawat inap, sebab harus menjalani berbagai tes. Mulai dari tes darah umum, hingga ke CT Scan, MRI, X-ray, echo-Cardiogramma, tes di kepala. Enam hari menjalani berbagai tes hasilnya terutama MRi tidak ada perubahan di kepala saya, masih sama dengan kondisi 2008 lalu. Padahal kaki masih kesemutan, bahkan diminta dokter ahli syaraf meminum obat Lexo untuk mengatasi stress. Padahal saya yakin tidak sedang stress, sebagai muslim sholat 5 waktu dan sering menulis artikel motivasi di blog, say ayakin tidak stress. Obatnya Lexo saya tidak minum.
Kembali ke rumah, barulah kemudian saya duga, ada kemungkinan saya hamil. Sebab ketiga kehamilan selalu kesemutan dan bahkan kaki kebas atau mati rasa. Biasanya dulu dokter kandungan memberi kapsul magnesium, diduga mereka saya kurang magnesium walau tiap hari sudah minum air mineral. Tentu saja dokter kandungan tidak tahun jantung saya bolong pada waktu masa kehamilan ketiga anak yang lahir 1997, 2004 dan 2005. Sebab diketahi PFO tahun 2008.
Singkatnya 3 dokter ahli kandungan memberi pilihan bagi kami, mau meneruskan kehamilan dengan resiko trombofilia bagi saya sebagai ibu dan fetus juga ada kemungkinan kena radiasi akibat X-ray dan CT Scan, sedangkan tes MRi dan lainnya tidak bahaya bagi fetus. Tanggal 20-26 Januari saat saya di test di RS saat itu saya sudah hamil. Karena tanggal mens akhri 26 Desember, sehingga saat ditanya oleh perawat dan petugas dibagian radiologi apakah saya hamil ketika akan di tes saya jawab ‘tidak’.
Sedangkan dua dokter jantung, menyatakan kehamilan aman bagi saya. Bahaya trombofilia tidak perlu dikhawatrikan, sebab saya bukan pasien PFO lagi, setelah ditutup dengan amplatzar. Artinya saya pernah kena PFO dan sekarang tidak ada masalah. Hanya dokter ahli kandungan semua berpendapat sama, bahwa kehamilan menghasilkan banyak hormon-hormon baru yang bisa menimbulkan penyumbatan darah, sebab saa terciptanya placenta oleh fetus otomatis sudah terjadi penyumbatan.
Dalam keadaan bingung saya tetap yakin dengan kehamilan ini, walau kaki tetap kesemutan. Hingga suami diskusi soal bahaya radiasi bagi embrio dan didapatkan hasil X-ray di dada kurang pengaruhnya pada bagian abdominal (perut), walau saat di X-ray perut saya tidak dilindungi karena ketika ditanya apakah hamil saya jawab; tidak. Juga CT scan di bagian kepala, jika teori radiasi yang menyatakan perjalanan radiasi linear maka X-ray di dada tidak banyak pengaruhnya pada bagian perut. Namun ada hasil riset, membuktikan anak-anak yang kena radiasi, maka akan menderita kanker leukemia dan berbagai jenis kanker lainnya.
Sambil tetap yakin dengan pilihan yang akan kami ambil, saya semakin merasa sayang dengan fetus yang masih sebesar biji padi. Membayangkan soal menggugurkan kandungan tidak terpanh terlintas di benak saya, demikian juga suami yang jelas-jelas tidak akan membunuh walau masih dalam keadaan sekecil apapun. Saya bertekad tetap hamil walau pun disebut akan bahaya bagi saya.
Namun apa yang direncanakan suami dan saya akhirnay kandas. Tiga hari lalu, sepulang dari mengantar teman kenalan di internet seorang mahasiswa dari Perancis yang berkunjung ke Yunani dan menginap di rumah kami. Saya mengalami pendarahan. Darah seperti mens tetapi warna hitam pekat. Bahkan keluar berbentuk bongkahan bola-bola kecil. Sore harinya terpaksa menelepon ambulans dan setibanya di RS diperiksa dan prognosis mengalami keguguran. Malam itu saya diperbolehkan pulang setelah di cek dengan alat kamera dalam rahim tidak ada plasenta. Diminta dokter mengulangi periksa darah β-HCG. Jika mengalami penurunan artinya positif gagal kehamilan dan jika naik saya harus pulang ke RS lagi sebab dikhawatrikan kehamilan di luar rahim (ektopic). Hasilnya hormon Glycoprotein hanya 412, dan saat ini saya masih mengalami pendarahan seperti keluarnya darah mens tanpa rasa sakit apa pun.
Kejadian ini baru saya sadari, bahwa ini pernah terjadi sebelumnya. Saya telat mens dan kemudian beberapa minggu dapat mens yang deras sekali. Hanya saja saya tidak melakukan tes kehamilan dan saya seumur hidup belum pernah tahu apa sebenarnya keguguran. Sekarang barulah tahu artinya keguguran. Memang kehamilan diusia 40 tahun keatas banyak yang sukses dan melahirkan bayi sehat, namun banyak juga yang mengalami keguguran dan kemungkinan bayi down syndrome. Jika Anda usia 40 tahun keatas ingin hamil harus dipersiapkan segala sesuatu kemungkinan sebelum terjadinya konsepsi dan risikonya.
Rabu, 02 Desember 2009
Langka Yang Menolak Jabatan
Membaca beberapa artikel tentang Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Saya jadi tergerak untuk menulis kembali setelah larut dalam kesibukan panjang untuk menyelesaikan naskah buku terbaru. Ada yang menulis tentang Sri Mulyani menjadi ‘qurban’ dan banyak pendapat bahwa dia menjadi korban.
Jika saya boleh berpendapat. Sri Mulyani adalah sosok yang sangat ambisius. Dia menjadi dosen kami sekitar sebelas tahun lampau, pada saat perusahaan BUMN tempat saya bekerja dahulu mengirim kami beberapa bulan belajar di Lembaga Management FEUI Salemba. Wajahnya menarik, penampilannya juga menarik, cara bicaranya ketika mengajar penuh semangat dan tentu saja dia sangat cerdas.
Sayang kecerdasannya ini tidak diimbangi dengan sifat welas-asih atau kasih sayang. Karena sosoknya yang memang tampak penuh ambisi berhasil menempatkannya pada posisi menjadi pejabat penting di negeri tercinta Indonesia. Sebelum pengumuman kabinet SBY yang kedua kalinya, saya membaca di milis-milis bahwa Sri Mulyani akan dicalonkan kembali menjadi Menkeu. Jika saja dia punya rasa kasih sayang pada masyarakat dan negaranya, tentu dia akan menolak ketika diberi tugas dalam hal aliran dana untuk Bank Century dan segala tetek-bengeknya.
Skandal Century saat itu sudah merebak di masyarakat Indonesia, ketika masa jabatannya sebagai Menkeu hampir selesai. Sebagai menteri keuangan yang terlibat kasus tersebut, tentu dia paham betul seluk-beluk proses pengucuran dana ke bank yang bangkrut dan carut-marut itu. Sayang sekali ketika dia diminta kembali menjadi Menkeu, jabatan itu diterimanya. Dia tidak menolaknya.
Mungkin orang yang menolak ketika mendapat promosi jabatan hanya bisa kita lihat melalui film saja. Seperti film Hollywood lawas yang saya tonton di teve minggu kemarin. Kisah seorang angkatan laut Amerika yang menolak promosi jabatan pindah ke Washington. Dia memilih tetap pada jabatannya semula, tinggal di kotanya bersama istri dan anak-anaknya, karena di kota tersebut istrinya juga bekerja.
Jika nanti Panitia Angket Dana Century dapat menjalankan tugas mereka dengan benar dan bersih dari pengaruh mafia koruptor, maka Sri Mulyani juga harus dapat bertanggungjawab terhadap lebih 250 juta penduduk Indonesia. Toh saat dia dilantik sudah melakukan sumpah. Sumpah kepada Tuhan, tanah air dan bangsanya. Tindakan yang harus dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat.
Jika saya boleh berpendapat. Sri Mulyani adalah sosok yang sangat ambisius. Dia menjadi dosen kami sekitar sebelas tahun lampau, pada saat perusahaan BUMN tempat saya bekerja dahulu mengirim kami beberapa bulan belajar di Lembaga Management FEUI Salemba. Wajahnya menarik, penampilannya juga menarik, cara bicaranya ketika mengajar penuh semangat dan tentu saja dia sangat cerdas.
Sayang kecerdasannya ini tidak diimbangi dengan sifat welas-asih atau kasih sayang. Karena sosoknya yang memang tampak penuh ambisi berhasil menempatkannya pada posisi menjadi pejabat penting di negeri tercinta Indonesia. Sebelum pengumuman kabinet SBY yang kedua kalinya, saya membaca di milis-milis bahwa Sri Mulyani akan dicalonkan kembali menjadi Menkeu. Jika saja dia punya rasa kasih sayang pada masyarakat dan negaranya, tentu dia akan menolak ketika diberi tugas dalam hal aliran dana untuk Bank Century dan segala tetek-bengeknya.
Skandal Century saat itu sudah merebak di masyarakat Indonesia, ketika masa jabatannya sebagai Menkeu hampir selesai. Sebagai menteri keuangan yang terlibat kasus tersebut, tentu dia paham betul seluk-beluk proses pengucuran dana ke bank yang bangkrut dan carut-marut itu. Sayang sekali ketika dia diminta kembali menjadi Menkeu, jabatan itu diterimanya. Dia tidak menolaknya.
Mungkin orang yang menolak ketika mendapat promosi jabatan hanya bisa kita lihat melalui film saja. Seperti film Hollywood lawas yang saya tonton di teve minggu kemarin. Kisah seorang angkatan laut Amerika yang menolak promosi jabatan pindah ke Washington. Dia memilih tetap pada jabatannya semula, tinggal di kotanya bersama istri dan anak-anaknya, karena di kota tersebut istrinya juga bekerja.
Jika nanti Panitia Angket Dana Century dapat menjalankan tugas mereka dengan benar dan bersih dari pengaruh mafia koruptor, maka Sri Mulyani juga harus dapat bertanggungjawab terhadap lebih 250 juta penduduk Indonesia. Toh saat dia dilantik sudah melakukan sumpah. Sumpah kepada Tuhan, tanah air dan bangsanya. Tindakan yang harus dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat.
Kamis, 19 November 2009
No More Complaints
Bersyukur saya dapat menonton KICK ANDY kemarin melalui internet. Saya salut pada acara tersebut bisa menandingi acara Oprah, walau digelar secara sederhana dan tidak semewah Oprah yang kaya raya. Bahkan diakhir acara dapat membagikan hadiah.
Inti yang saya ambil dari acara tsb adalah apa yang ditampilkan oleh Kick Andy adalah tipe manusia Indonesia yang pantang menyerah, pejuang, tidak suka mengeluh. Bahkan orang-orang sederhana yang tidak suka pamer alias show off dan rendah hati. Pantas saja acara ini banyak digemari pemirsa. Andai saja para orang tua mewajibkan anak-anaknya menonton Kick Andy yang temanya sesuai dengan usia anak dan remaja, maka negeri ini tidak akan menumbuhkan generasi ala sinetron. Generasi sinetron yang cengeng, suka intrik, cemburu, iri hati dan dendam , pemalas dan suka pamer kekayaan orangtua.
Saya tidak tahu apakah ada acara ulangan untuk Kick Andy di teve. Akan lebih baik jika sebelum acara disiarkan sudah ditayangkan iklan tema apa yang akan ditampilkan oleh Kick Andy. Seperti iklan sinetron yang sering ditayangkan berulang-ulang di layar kaca, hingga menjadi brain wash anak-anak dan remaja Indonesia.
Agar tulisan ini tidak bersifat mengeluh, maka saya akan menulis mengenai rasa syukur bahwa masih ada yang peduli pada moral dan kelangsungan hidup bangsa kita. Saya bersyukur disamping munculnya film box office 2012 masih ada film Emak Ingin Naik Haji. Disamping semakin banyaknya korban akibat flu babi dan penyakit menular lainnya yang muncul di dunia ini, bangsa Indonesia di tanah air tercinta tidak terdengar ada kasus terkena flu babi.
Masih banyak rasa syukur yang faktanya saya bisa lihat sehari-hari dari Yunani. Misalnya saja bulan Nopember ini adalah musim panen zaitun, tentu tidak ada pohon zaitun di Indonesia. Tetapi di tanah air terdapat banyak sekali buah dan sayuran yang khasiatnya melebihi buah dan minyak zaitun. Memang diperlukan hal-hal kecil yang kita lihat sehari-hari agar setiap saat hidup ini selalu bersyukur dan bukannya mengeluh dan cemooh.
Sabtu, 07 November 2009
Kontra Vaksin Flu Babi
Pro dan kontra masalah vaksin tidak saja terjadi di negara sedang b erkembang dan maju. Timbulnya penyakit baru seperti flu babi dan flu burung sebelumnya cukup membuat was-was kita semua. Saya masih ingat ketika wabah flu burung menelan korban banyak jiwa orang Indonesia, para turis dari manca negara banyak yang ngeri datang ke Indonesia. Bahkan saya ketika itu meminta nasihat dokter di Yunani apakah aman jika bepergian pulang ke kampung halaman saya yang sedang mewabah flu burung. Dokter mengizinkan dan memberikan saya suntika vaksin flu biasa. Saya berangkat pulang ke Jakarta dan kembali ke Yunani dengan sehat wal’afiat.
Tahun 2009 ini dunia heboh dengan berjatuhannya korban flu babi di negara USA dan Mexico yang disebut-sebut sebagai asal-usul berkembang biaknya virus H1N1 (Flu babi). Merambah cepat hingga korban ribuan penderita di UK (Inggris). Di Yunani juga akhirnya ditemukan banyak korban penderita flu babi ini.
Ketakutan para ahli dan masyarakat akan merebaknya virus ini di musim dingin semakin terbukti. Jangankan sebelum munculnya virus flu babi, biasanya di musim dingin sudah menjadi langganan banyak anak-anak, remaja, orang dewasa hingga lansia yang terserang flu biasa. Tuhan juga adil, di musim dingin di negara Eropa musim buah, adalah buah jeruk yang banyak mengandung vitamin C selain buah kiwi.
Mengantisipasi semakin merebaknya flu babi yang dissebut oleh oleh media massa dan departemen kesehatan di Yunani, sebagai flu baru, pemerintah memberikan layanan vaksin flu babi secara gratis di rumah sakit untuk para balita dan lansia dimulai bulan Nopember 2009 ini. Namun tidak semua ahli kesehatan dan dokter yang setuju untuk memberikan vaksin flu babi untuk anak-anak dan orang dewasa yang sehat. Sebab ditemukan beberapa alasannya sebagai berikut:
A. Sejak munculnya vaksin Flu babi ini, WHO sendiri tidak memberikan jaminan 100% akan keamanan vaksin ini.
Para peneliti memperingatkan bahwa penggunaan berlebihan dari vaksin flu dan anti-flu Tamiflu dan obat-obatan seperti Relenza dapat menyebabkan tekanan genetik pada virus flu dan kemudian mereka lebih cenderung bermutasi menjadi strain yang lebih mematikan.
Kebanyakan influenza A musiman (H1N1) strain virus diuji dari Amerika Serikat dan negara-negara lain sekarang resisten terhadap Tamiflu (oseltamivir). Tamiflu telah menjadi obat yang hampir tidak berguna melawan flu musiman.
Para pejabat kesehatan masyarakat dan pemerintah di negara USA dan Eropa tidak memperkenalkan cara untuk memperkuat kekebalan tubuh terhadap flu. Seolah-olah tidak ada pilihan lain di luar vaksin dan obat anti-flu yang ditawarkan, walaupun ada bukti kuat bahwa vitamin C dan D mengaktifkan sistem kekebalan tubuh serta mineral selenium mencegah pemberukan virus dan menghindari tubuh dari penyakit.
B. Ditemukannya ada beberapa orang yang sehat, setelah diberikan vaksin flu babi, dia menjadi lumpuh. Oleh beberapa ahli disebut kasus ini hanya terjadi sedikit saja diantara ribuan orang yang telah diberikan vaksin.
Jika saya boleh berpendapat, vaksin itu ada yang bermanfaat dan juga ada yang bisa membawa mudarat. Saya sendiri memberikan vaksin teratur pada anak-anak saya sejak bayi hingga kini balita. Karena dokter anak di Yunani dan pemerintah menetapkan peraturan wajib vaksin bagi anak-anak. Bahkan anak yang masuk sekolah harus menunjukkan buku kesehatannya. Yang dilihat adalah daftar vaksin anak.
Sedangkan anjuran untuk melakukan vaksin flu biasa, sudah dilakukan jauh hari sebelum terjadi wabah flu babi terjadi di Yunani. Untuk vaksin flu babi, kami memutuskan untuk tidak diberikan pada anak-anak kami. Saya sendiri, sejak kecil tidak pernah disuntik vaksin. Seingat saya kedua orang tua saya memberikan kami banyak asupan buah-buahan yang sehat dan bebas bahan kimia. Karena masa kecil saya kami tinggal di daerah Merbau Labuhan Batu Sumatra Utara; yang banyak terdapat banyak kebun buah dan pohon yang hidup alamiah tanpa semprotan hama dan pupuk. Ketahanan tubuh dan kekebalan tubuh otomatis akan terbentuk dari asupan makanan dan aktifitas badan sehari-hari. Banyak bergerak dan olah raga serta menjaga kebersihan badan.
Semoga saja wabah flu babi di musim dingin ini tidak akan merebak hingga ke Megara tempat kami tinggal. Sebab di Athena sudah beberapa sekolah yang ditutup untuk mengurangi korban flu babi ini.
Tahun 2009 ini dunia heboh dengan berjatuhannya korban flu babi di negara USA dan Mexico yang disebut-sebut sebagai asal-usul berkembang biaknya virus H1N1 (Flu babi). Merambah cepat hingga korban ribuan penderita di UK (Inggris). Di Yunani juga akhirnya ditemukan banyak korban penderita flu babi ini.
Ketakutan para ahli dan masyarakat akan merebaknya virus ini di musim dingin semakin terbukti. Jangankan sebelum munculnya virus flu babi, biasanya di musim dingin sudah menjadi langganan banyak anak-anak, remaja, orang dewasa hingga lansia yang terserang flu biasa. Tuhan juga adil, di musim dingin di negara Eropa musim buah, adalah buah jeruk yang banyak mengandung vitamin C selain buah kiwi.
Mengantisipasi semakin merebaknya flu babi yang dissebut oleh oleh media massa dan departemen kesehatan di Yunani, sebagai flu baru, pemerintah memberikan layanan vaksin flu babi secara gratis di rumah sakit untuk para balita dan lansia dimulai bulan Nopember 2009 ini. Namun tidak semua ahli kesehatan dan dokter yang setuju untuk memberikan vaksin flu babi untuk anak-anak dan orang dewasa yang sehat. Sebab ditemukan beberapa alasannya sebagai berikut:
A. Sejak munculnya vaksin Flu babi ini, WHO sendiri tidak memberikan jaminan 100% akan keamanan vaksin ini.
Para peneliti memperingatkan bahwa penggunaan berlebihan dari vaksin flu dan anti-flu Tamiflu dan obat-obatan seperti Relenza dapat menyebabkan tekanan genetik pada virus flu dan kemudian mereka lebih cenderung bermutasi menjadi strain yang lebih mematikan.
Kebanyakan influenza A musiman (H1N1) strain virus diuji dari Amerika Serikat dan negara-negara lain sekarang resisten terhadap Tamiflu (oseltamivir). Tamiflu telah menjadi obat yang hampir tidak berguna melawan flu musiman.
Para pejabat kesehatan masyarakat dan pemerintah di negara USA dan Eropa tidak memperkenalkan cara untuk memperkuat kekebalan tubuh terhadap flu. Seolah-olah tidak ada pilihan lain di luar vaksin dan obat anti-flu yang ditawarkan, walaupun ada bukti kuat bahwa vitamin C dan D mengaktifkan sistem kekebalan tubuh serta mineral selenium mencegah pemberukan virus dan menghindari tubuh dari penyakit.
B. Ditemukannya ada beberapa orang yang sehat, setelah diberikan vaksin flu babi, dia menjadi lumpuh. Oleh beberapa ahli disebut kasus ini hanya terjadi sedikit saja diantara ribuan orang yang telah diberikan vaksin.
Jika saya boleh berpendapat, vaksin itu ada yang bermanfaat dan juga ada yang bisa membawa mudarat. Saya sendiri memberikan vaksin teratur pada anak-anak saya sejak bayi hingga kini balita. Karena dokter anak di Yunani dan pemerintah menetapkan peraturan wajib vaksin bagi anak-anak. Bahkan anak yang masuk sekolah harus menunjukkan buku kesehatannya. Yang dilihat adalah daftar vaksin anak.
Sedangkan anjuran untuk melakukan vaksin flu biasa, sudah dilakukan jauh hari sebelum terjadi wabah flu babi terjadi di Yunani. Untuk vaksin flu babi, kami memutuskan untuk tidak diberikan pada anak-anak kami. Saya sendiri, sejak kecil tidak pernah disuntik vaksin. Seingat saya kedua orang tua saya memberikan kami banyak asupan buah-buahan yang sehat dan bebas bahan kimia. Karena masa kecil saya kami tinggal di daerah Merbau Labuhan Batu Sumatra Utara; yang banyak terdapat banyak kebun buah dan pohon yang hidup alamiah tanpa semprotan hama dan pupuk. Ketahanan tubuh dan kekebalan tubuh otomatis akan terbentuk dari asupan makanan dan aktifitas badan sehari-hari. Banyak bergerak dan olah raga serta menjaga kebersihan badan.
Semoga saja wabah flu babi di musim dingin ini tidak akan merebak hingga ke Megara tempat kami tinggal. Sebab di Athena sudah beberapa sekolah yang ditutup untuk mengurangi korban flu babi ini.
Rabu, 28 Oktober 2009
Satu Buku untuk Satu Tahun
Alhamdulillah sejak 2007 buku yang saya tulis terbit setiap tahunnya. Bak kata pepatah 'ala bisa karena biasa". Buku ketiga saya ini ditulis beramai-ramai. Buku yang ditulis beramai lebih enak dibaca ketimbang oleh seorang penulis. Saya bertekad untuk buku yang akan terbit tahun depan, insyaAllah saya bersolo karir menulis sendiri.
Mudahnya menulis sendiri adalah kalimat dan gaya bahasanya seragam dan punya ciri khas tertentu. Istilahnya made in, mirip baju yang dibuat oleh seorang perancang yang punya ciri khas tersendiri dan kelas tersendiri. Buku juga demikian, jika menulis buku isinya monoton dan kurang menarik pembaca tentu akan membuat kecewa pembelinya. Karena itulah saya menulis sambil membayangkan bagaimana respon pembaca saat membaca buku yang sedang saya tulis. Intinya saya menulis setiap kalimat agar pembaca tidak bosan, menarik dan membuat penasaran hingga ingin melalap habis setiap halaman hingga tamat.
Memang tak mudah menulis sesuai keinginan pembaca, untuk itu saya selalu berkaca pada diri sendiri. Apa yang saya sukai saya tulis dan gaya tulisan yang tidak saya sukai maka tidak akan saya tulis. Pengalaman hidup diri sendiri akan selalu menarik perhatian orang lain. Orang selalu ingin tahu tentang diri orang lain. Untuk itu saya selalu menulis berdasarkan pengalaman hidup saya sehari-hari. bahkan peristiwa kecil bisa menjadi kisah yang panjang dan menarik.
Seperti kisah di bawah ini misalnya:
28 Oktober di Indonesia diperingati sebagai hari sumpah pemuda. Sedangkan di Yunani diperingati sebagai hari nasional, hampir mirip perayaan hari Kemerdekaannya. 28 Oktober di Yunani adalah hari OXI artinya Hari TIDAK. Tidak maksudnya adalah perjuangan bangsa Yunani dengan berani mengatakan TIDAK pada pasukan Italia yang dipimpin oleh Mussolini yang ingin menjarah Yunani. Musslolini adalah pemimpin Italia yang berideologi fasisme.
Perayaan 28 Oktober di Yunani, ditandai dengan parelasi atau pawai oleh semua anak sekolah, dari anak-anak play grup hingga ke jenjang universitas. Juga polisi dan pasukan pemadam kebakaran dan setiap lembaga apa saja yang bersedia pawai meramaikan perayaan hari OXI ini.
Pawai sekolah selalu berurutan sesuai nomor sekolah, misal SD nomor 1 maka SD tersebut mendapat giliran lebih dahulu maju. Setiap pawai dikepalai oleh seorang anak yang membawa bendera Yunani. Memilih anak yang membawa bendera sudah ditetapkan secara nasional, bahwa anak yang mendapat nilai tertinggi dan duduk di kelas tertinggi dia yang akan membawa bendera.
Hingga menjadi suatu kebanggaan orang tua jika anaknya membawa bendera Yunani. Namun hal ini tidak berlaku untuk anak keturunan asing. Tahun 2006 terjadi protes besar-besaran akibat seorang murid keturunan Albania mendapat nilai tertinggi di kelas 6 SD dan dia dipilih membawa bendera Yunani. Sejak protes itu, maka tidak pernah lagi terjadi seorang anak keturunan asing mendapat nilai tertinggi.
Hal tersebut menimpa diri putri saya Aisyah. Aisyah selalu mendapat nilai 10 untuk setiap mata pelajaran dan ujian hasilnya 10. Semua orang tua pasti mengetahui hasil ujian sebab kertas ujian harus ditanda-tangani oleh orang tua dan dikembalikan ke guru. Aisyah cerdas alami, padahal dia tidak pernah saya kirim ke kursus atau les seperti anak-anak asli Yunani yang mengirim anak-anak mereka ke lembaga bimbingan belajar bahasa, matematika dll. Aisyah pintar karena dia anak yang punya gen MCV (baca buku Love and Shock). Anak hasil perkawinan antarbangsa punya kecerdasan diatas rata-rata.
Menghindari Aisyah yang bawa bendera Yunani, maka dua hari sebelum parelasi (pawai) Kiria Dora mengumumkan bahwa Thanasis-lah juara 1 di kelas 6 SD tersebut. Dan Aisyah juara 2, Katerina juara 3, Marillena juara 4 dstnya. Sebab 6 anak yang memimpin pawai, tiga di depan dan 3 di belakang, kemudian diikuti oleh anak-anak lainnya seluruh kelas dan kelas 5 serta 4.
Saya terima dengan senang hati, walau sempat saya tidak mengizinkan Aisyah ikut pawai berhubung saya tidak suka anak saya turut dalam keramaian dan pesta-pesta orang Yunani. Setelah Aisyah menerangkan bahwa dia wajib ikut sebab dia termasuk jajaran anak yang 6 maka mau tak mau saya harus mengizinkannya ikut pawai. Baju yang dipakai pawai adalah mirip seragam SMP yang dipakai pelajar Indonesia.
Saat detik-detik saya menunggu Aisyah melewati pawai, ada rasa haru dalam hati saya. Saya hampir sempat menangis karena haru. Dia berjalan di barisan terdepan di sebelah kanan Thanasis pembawa bendera. Adiknya si Abang yang tidak mau ikut pawai, memanggil nama Kakaknya "Aisyah! Aisyaaah!...."
Seketika Aisyah menoleh melihat kami hingga dia salah dalam melangkah. Si bungsu Hadi juga ikut pawai memakai baju kemeja putih, topi red barret dan dasi merah. Sayang kami tidak membeli dasi buat Hadi, dia pawai tanpa dasi.
Mudahnya menulis sendiri adalah kalimat dan gaya bahasanya seragam dan punya ciri khas tertentu. Istilahnya made in, mirip baju yang dibuat oleh seorang perancang yang punya ciri khas tersendiri dan kelas tersendiri. Buku juga demikian, jika menulis buku isinya monoton dan kurang menarik pembaca tentu akan membuat kecewa pembelinya. Karena itulah saya menulis sambil membayangkan bagaimana respon pembaca saat membaca buku yang sedang saya tulis. Intinya saya menulis setiap kalimat agar pembaca tidak bosan, menarik dan membuat penasaran hingga ingin melalap habis setiap halaman hingga tamat.
Memang tak mudah menulis sesuai keinginan pembaca, untuk itu saya selalu berkaca pada diri sendiri. Apa yang saya sukai saya tulis dan gaya tulisan yang tidak saya sukai maka tidak akan saya tulis. Pengalaman hidup diri sendiri akan selalu menarik perhatian orang lain. Orang selalu ingin tahu tentang diri orang lain. Untuk itu saya selalu menulis berdasarkan pengalaman hidup saya sehari-hari. bahkan peristiwa kecil bisa menjadi kisah yang panjang dan menarik.
Seperti kisah di bawah ini misalnya:
28 Oktober di Indonesia diperingati sebagai hari sumpah pemuda. Sedangkan di Yunani diperingati sebagai hari nasional, hampir mirip perayaan hari Kemerdekaannya. 28 Oktober di Yunani adalah hari OXI artinya Hari TIDAK. Tidak maksudnya adalah perjuangan bangsa Yunani dengan berani mengatakan TIDAK pada pasukan Italia yang dipimpin oleh Mussolini yang ingin menjarah Yunani. Musslolini adalah pemimpin Italia yang berideologi fasisme.
Perayaan 28 Oktober di Yunani, ditandai dengan parelasi atau pawai oleh semua anak sekolah, dari anak-anak play grup hingga ke jenjang universitas. Juga polisi dan pasukan pemadam kebakaran dan setiap lembaga apa saja yang bersedia pawai meramaikan perayaan hari OXI ini.
Pawai sekolah selalu berurutan sesuai nomor sekolah, misal SD nomor 1 maka SD tersebut mendapat giliran lebih dahulu maju. Setiap pawai dikepalai oleh seorang anak yang membawa bendera Yunani. Memilih anak yang membawa bendera sudah ditetapkan secara nasional, bahwa anak yang mendapat nilai tertinggi dan duduk di kelas tertinggi dia yang akan membawa bendera.
Hingga menjadi suatu kebanggaan orang tua jika anaknya membawa bendera Yunani. Namun hal ini tidak berlaku untuk anak keturunan asing. Tahun 2006 terjadi protes besar-besaran akibat seorang murid keturunan Albania mendapat nilai tertinggi di kelas 6 SD dan dia dipilih membawa bendera Yunani. Sejak protes itu, maka tidak pernah lagi terjadi seorang anak keturunan asing mendapat nilai tertinggi.
Hal tersebut menimpa diri putri saya Aisyah. Aisyah selalu mendapat nilai 10 untuk setiap mata pelajaran dan ujian hasilnya 10. Semua orang tua pasti mengetahui hasil ujian sebab kertas ujian harus ditanda-tangani oleh orang tua dan dikembalikan ke guru. Aisyah cerdas alami, padahal dia tidak pernah saya kirim ke kursus atau les seperti anak-anak asli Yunani yang mengirim anak-anak mereka ke lembaga bimbingan belajar bahasa, matematika dll. Aisyah pintar karena dia anak yang punya gen MCV (baca buku Love and Shock). Anak hasil perkawinan antarbangsa punya kecerdasan diatas rata-rata.
Menghindari Aisyah yang bawa bendera Yunani, maka dua hari sebelum parelasi (pawai) Kiria Dora mengumumkan bahwa Thanasis-lah juara 1 di kelas 6 SD tersebut. Dan Aisyah juara 2, Katerina juara 3, Marillena juara 4 dstnya. Sebab 6 anak yang memimpin pawai, tiga di depan dan 3 di belakang, kemudian diikuti oleh anak-anak lainnya seluruh kelas dan kelas 5 serta 4.
Saya terima dengan senang hati, walau sempat saya tidak mengizinkan Aisyah ikut pawai berhubung saya tidak suka anak saya turut dalam keramaian dan pesta-pesta orang Yunani. Setelah Aisyah menerangkan bahwa dia wajib ikut sebab dia termasuk jajaran anak yang 6 maka mau tak mau saya harus mengizinkannya ikut pawai. Baju yang dipakai pawai adalah mirip seragam SMP yang dipakai pelajar Indonesia.
Saat detik-detik saya menunggu Aisyah melewati pawai, ada rasa haru dalam hati saya. Saya hampir sempat menangis karena haru. Dia berjalan di barisan terdepan di sebelah kanan Thanasis pembawa bendera. Adiknya si Abang yang tidak mau ikut pawai, memanggil nama Kakaknya "Aisyah! Aisyaaah!...."
Seketika Aisyah menoleh melihat kami hingga dia salah dalam melangkah. Si bungsu Hadi juga ikut pawai memakai baju kemeja putih, topi red barret dan dasi merah. Sayang kami tidak membeli dasi buat Hadi, dia pawai tanpa dasi.
Minggu, 06 September 2009
Nasib Nelayan Tradisional Yang Tak Menentu
Banyak kita sudah membaca kepahitan hidup nelayan Indonesia. Dari Sabang hingga Merauke nasib para nelayan tidak berubah. Jika saya boleh berpendapat profesi nelayan identik dengan kemiskinan absolut.
Di bawah ini saya kutip kisah seorang nelayan asal Aceh dari blog Masriadi Sambo.
DHEBIT Desliana, sibuk membenahi perahu miliknya di Desa Kampung Jawa, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe. Saban minggu, nelayan yang menggunakan ketek ini, terpaksa memperbaiki perahu miliknya.
Dia sudah mengusulkan bantuan pada Dinas Perikanan Kota Lhokseumawe, 28 November 2007 dengan nomor register proposal 250/01/KB/H65/2007. Awalnya, disebutkan akan mendapat bantuan tahun 2008. Namun, hingga kini bantuan itu tak kunjung datang.
Dalam salah satu berita di www.kabarindonesia.com pernah ditulis nasib nelayan Banten yang menunggu bantuan yang kabarnya akan diberikan oleh SET NET Jepang untuk mendongkrak hasil tangkapan nelayan. Namun hingga kini janji itu belum ditepati.
Kemudian saya kembali dikejutkan dengan rencana pengaplingan wilayah kelautan Indonesia. Seperti yang diberikan dalam Kompas online.
Terlepas apakah ini sudah dirancang jauh hari sebelum kemenangan Budiyono sebagai Wapres RI. Jelas rencana edan ini sangat-sangat Neolib. Nelayan tradisionil yang sudah terjerat rentenir, nelayan yang hanya melaut menggunakan kapal milik orang lain yang biasa disebut "Tuan Kapal". Nelayan tradisionil yang hanya menggunakan ketek dan perahu sederhana meyabung nyawa demi memenuhi kebutuhan keluarganya, akan semakin terpinggirkan oleh Pengaplingan Laut ini.
Bisa dibayangkan bagaimana semakin terpuruknya kehidupan nelayan, jika mereka baru saja melepas jala harus diusir dan bahkan kemungkinan ditangkap oleh patroli. Sebab belum mendapatkan hasil tangkapan, akibat menggunakan peralatan yang sederhana. Jika dibandingkan dengan pengusaha Jepang, Korea dan pengusaha Indonesia dll yang akan mendapat HPL (Hak Penggunaan Laut).
Semoga saja para wakil rakyat dan pemimpin negeri ini menyadari dosa dan kesalahan mereka. Sebelum membuat dosa lebih banyak lagi terhadap bangsa, rakyat dan negara tercinta Indonesia.
Pengaplingan Laut Mulai 2010
Hak Nelayan Tradisional Terancam
Sabtu, 8 Agustus 2009 | 03:59 WIB
Jakarta, Kompas - Pemerintah berencana melakukan pembagian zona
perairan mulai tahun 2010. Membagi perairan menjadi kapling-kapling itu
menjadi landasan untuk pemberlakuan hak pengusahaan perairan pesisir,
serta kluster perikanan tangkap.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil
(KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad, Jumat (7/8) di
Jakarta, mengemukakan, pihaknya akan memfasilitasi 20 kabupaten/kota
untuk menyusun rencana pembagian zona perairan mulai tahun 2010.
β€Zonasi perairan menjamin adanya perencanaan dalam pemanfaatan
perairan, selain memberi kepastian bagi pelaku usaha, termasuk nelayan
tradisional,β€ ujar Sudirman.
Menanggapi rencana itu, perwakilan masyarakat hukum adat, nelayan
tradisional, masyarakat pesisir, dan perempuan nelayan menandatangani
deklarasi β€Pernyataan Lombokβ€ 5 Agustus, yang menuntut rencana
pemberlakuan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) dan kluster
perikanan tangkap dihentikan. Hal itu dinilai akan menciptakan
privatisasi, monopoli, dan liberalisasi sumber daya kelautan dan
pesisir.
Mereka yang menandatangani deklarasi, antara lain, adalah Koalisi
Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Komite Pengelolaan Perikanan
Laut Lombok Timur, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), dan
Serikat Nelayan Indonesia.
Menurut Sudirman, pembagian zona perairan ditetapkan melalui peraturan
daerah guna mendorong transparansi dan akuntabilitas publik. Penetapan
pembagian zona wajib mengakomodasi kepentingan pelaku usaha, nelayan
tradisional dan masyarakat pesisir.
Dengan pembagian zona itu, wilayah laut dibagi menjadi empat bagian,
yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan nasional
strategis tertentu, dan alur pelayaran.
Penetapan pembagian zona perairan juga menjadi landasan bagi
pembentukan kluster usaha perikanan tangkap dalam alur perairan hingga
sepanjang 12 mil. Kluster usaha perikanan tangkap akan diterapkan tahun
2010 dengan uji coba di Laut Arafura dan Laut China Selatan.
Kluster itu memberikan hak eksklusif kepada pihak-pihak tertentu untuk
memanfaatkan sumber daya ikan di perairan.
Menurut Koordinator KIARA Abdul Halim, pembentukan HP3 dan kluster
perikanan tangkap bukti bahwa pengelolaan perairan hanya dipandang
sebagai ruang untuk mencari nafkah. Namun, mengabaikan laut sebagai
identitas budaya bangsa dan jalan hidup masyarakat adat dan pesisir
secara turun-temurun.
β€Tidak ada jaminan bahwa kepentingan masyarakat adat dan nelayan tradisional
akan diprioritaskan,β€ ujar Halim. (LKT)
Kamis, 06 Agustus 2009
A Chapter That Was Painful to Read
Wed, 05 August 2009
Jihad el-Khazen
What is in common between the two books “Kill Khalid” and “Zionism, the real enemy of the Jews”?
Of course, there is the obvious political common feature of being related to the Palestinian-Israeli conflict. However, what quickly caught my attention in the two books was this: while I was reading an article written by Alan Hart - the author of the second book - in which he complains about not being able to publish his book in the United States, I received a letter from Brother Naim Atallah, the chairman of Quartet Books (publisher of the book about the assassination attempt against Khalid Mishal). In the letter, Mr. Atallah similarly complained about how the British media ignored the book, with the latter only receiving two reviews in the British Press (Al-Hayat in London, however, dedicated a decent space for a review of the book, written by colleague Susannah Tarbush.)
I would like to extend my gratitude to Brother Naim for informing me about this issue. In fact, I had been noticed of the book’s release, but did not order it, believing that there would be nothing in it I do not already know about the assassination attempt against Abu al-Walid, or about Hamas, its roots and its policies. Actually, I meet with the head of Hamas’s Political Bureau quite often, and he is not stingy with the information that he gives me.
Kill Khalid was written by Paul McGeogh, a prominent Australian journalist and a genuine award-winning expert on the Middle East, and particularly the Palestinian issue.
I want to admit here that the book has in fact enriched my knowledge about the subject, which means that the non-specialized reader will benefit even more.
On 25/9/1997, Mr. Khalid Mishal suffered an assassination attempt, through the use of chemical toxins, as he was entering his office in Amman. The chapter narrating the attempt reads more like a mystery novel, with Abu Saif, Abu al-Walid’s bodyguard, chasing two Israeli spies, and then engaging in hand combat with one then the other. He was then joined by Saad Naeem al-Khatib, an officer in the liberation army, who witnessed the chase and eventually managed to capture the Mossad agents.
We all know that following these events, King Hussein threatened to execute the Israeli spies if Netanyahu’s government did not send the antidote. The book explains the mediation role played by the Americans in this issue, and how the Israelis relented in the end, and Abu al-Walid survived. Nonetheless, the book includes very precise details, and I consider it to be a historical reference in its subject matter, since it is documented and corroborated by parties directly involved in the attempt.
On the other hand, there was a chapter in the book that was painful to read, concerning the conflict between Hamas and Fatah in the Gaza Strip, which ended with Hamas taking control of the sector in June 2007. In the book, the author takes Hamas’s side, and reveals that Fatah received four or five arm shipments on the eve of the confrontation. He also revealed that the Americans were siding with Fatah, since it was to them the sole recognized and legitimate authority, according to Keith Dayton’s testimony before the Committee on the Middle East and South Asia - a subcommittee of the US House of Representatives Committee on Foreign Affairs.
Meanwhile, the details of the fighting recounted in the book include names and precise locations, especially about the sombre day of the 6th of October, when tens of Palestinians were killed at the hands of their brethren. If there is anything worth noting here, it would be the absence of Mohammed Dahlan from the Gaza Strip, and his ineffectiveness in the battles evident from the fighting. In this vein, McGeogh mentions that in the end, Hamas issued a general pardon, but it was one that excluded Mohammed Dahlan. This corroborates what I had heard from Brother Khalid Mishal and Dr. Ramadan Shallah, and the other leaders of Hamas and Islamic Jihad, that there is “bad blood between us” [i.e. Hamas and Dahlan]
As for Alan Hart, the author of the above mentioned book on Zionism, he is a Briton, and is one of the highest calibre experts on the Middle East. He was the correspondent of the BBC and the ITN television in the region, and his sources of information are innumerable and unparalleled. Two volumes of his book on his Zionism have already been published, while the third is already in the works.
In the book, Hart makes the distinction between Zionism as a Jewish identity or political Zionism on one hand, and religious Zionism on the other. Hart says that the tragic irony is that half a century after the Holocaust, anti-Semitism is now on the rise in Europe and America, and that the reason behind is the actions of Israel, the daughter of political Zionism, and the place of residence of a minority of the Jews of the world. Furthermore, the author considers political Zionism to be a colonial project, while he believes that by its abuse of the Palestinians, Israel is actually fuelling anti-Semitism around the world.
Hart did not find a publishing house that would publish his book, and thus founded his own in Britain to publish it. In fact, he mentioned two reasons why this happened despite his professional reputation: the first reason was the publishers’ fear of reprisal by the Zionists, and possibly losing advertisements and endorsements, while the second reason was that Hart’s peer journalists did not want to be accused of anti-Semitism, should they express views in favour of the book.
Personally, I found useful information in every single page of the book, such as the author’s narration of how Abraham Feinberg, the father of the Israeli nuclear bomb, financed Lyndon Johnson’s campaign in the elections. It should be mentioned here that I had written in this column once about the story of Lyndon Johnson’s Jewish mistress, Mathilde Krim, in the White House, on the day the 1967 war started.
The whole book is worth reading, as it is a sea of precious information. Chapter 41 for instance, is rich with details about the conspiring of Ariel Sharon, the ignorance of George W. Bush, the story of the reoccupation of Palestinian cities, and how the attempt to topple Abu Ammar took place, in addition to details about Abu Mazen’s ascent to the post of prime minister in the summer of 2003. Nevertheless, I want to say that the latter did not forfeit any Palestinian rights, nor did he ever compromise.
In any case, I believe that the history of conspiracy, terrorism and extremism is repeating itself today with Benjamin Netanyahu and his gang. Most likely, we will not learn the lessons of the recent past in order to deal with the present.
I shall continue tomorrow
Jihad el-Khazen
What is in common between the two books “Kill Khalid” and “Zionism, the real enemy of the Jews”?
Of course, there is the obvious political common feature of being related to the Palestinian-Israeli conflict. However, what quickly caught my attention in the two books was this: while I was reading an article written by Alan Hart - the author of the second book - in which he complains about not being able to publish his book in the United States, I received a letter from Brother Naim Atallah, the chairman of Quartet Books (publisher of the book about the assassination attempt against Khalid Mishal). In the letter, Mr. Atallah similarly complained about how the British media ignored the book, with the latter only receiving two reviews in the British Press (Al-Hayat in London, however, dedicated a decent space for a review of the book, written by colleague Susannah Tarbush.)
I would like to extend my gratitude to Brother Naim for informing me about this issue. In fact, I had been noticed of the book’s release, but did not order it, believing that there would be nothing in it I do not already know about the assassination attempt against Abu al-Walid, or about Hamas, its roots and its policies. Actually, I meet with the head of Hamas’s Political Bureau quite often, and he is not stingy with the information that he gives me.
Kill Khalid was written by Paul McGeogh, a prominent Australian journalist and a genuine award-winning expert on the Middle East, and particularly the Palestinian issue.
I want to admit here that the book has in fact enriched my knowledge about the subject, which means that the non-specialized reader will benefit even more.
On 25/9/1997, Mr. Khalid Mishal suffered an assassination attempt, through the use of chemical toxins, as he was entering his office in Amman. The chapter narrating the attempt reads more like a mystery novel, with Abu Saif, Abu al-Walid’s bodyguard, chasing two Israeli spies, and then engaging in hand combat with one then the other. He was then joined by Saad Naeem al-Khatib, an officer in the liberation army, who witnessed the chase and eventually managed to capture the Mossad agents.
We all know that following these events, King Hussein threatened to execute the Israeli spies if Netanyahu’s government did not send the antidote. The book explains the mediation role played by the Americans in this issue, and how the Israelis relented in the end, and Abu al-Walid survived. Nonetheless, the book includes very precise details, and I consider it to be a historical reference in its subject matter, since it is documented and corroborated by parties directly involved in the attempt.
On the other hand, there was a chapter in the book that was painful to read, concerning the conflict between Hamas and Fatah in the Gaza Strip, which ended with Hamas taking control of the sector in June 2007. In the book, the author takes Hamas’s side, and reveals that Fatah received four or five arm shipments on the eve of the confrontation. He also revealed that the Americans were siding with Fatah, since it was to them the sole recognized and legitimate authority, according to Keith Dayton’s testimony before the Committee on the Middle East and South Asia - a subcommittee of the US House of Representatives Committee on Foreign Affairs.
Meanwhile, the details of the fighting recounted in the book include names and precise locations, especially about the sombre day of the 6th of October, when tens of Palestinians were killed at the hands of their brethren. If there is anything worth noting here, it would be the absence of Mohammed Dahlan from the Gaza Strip, and his ineffectiveness in the battles evident from the fighting. In this vein, McGeogh mentions that in the end, Hamas issued a general pardon, but it was one that excluded Mohammed Dahlan. This corroborates what I had heard from Brother Khalid Mishal and Dr. Ramadan Shallah, and the other leaders of Hamas and Islamic Jihad, that there is “bad blood between us” [i.e. Hamas and Dahlan]
As for Alan Hart, the author of the above mentioned book on Zionism, he is a Briton, and is one of the highest calibre experts on the Middle East. He was the correspondent of the BBC and the ITN television in the region, and his sources of information are innumerable and unparalleled. Two volumes of his book on his Zionism have already been published, while the third is already in the works.
In the book, Hart makes the distinction between Zionism as a Jewish identity or political Zionism on one hand, and religious Zionism on the other. Hart says that the tragic irony is that half a century after the Holocaust, anti-Semitism is now on the rise in Europe and America, and that the reason behind is the actions of Israel, the daughter of political Zionism, and the place of residence of a minority of the Jews of the world. Furthermore, the author considers political Zionism to be a colonial project, while he believes that by its abuse of the Palestinians, Israel is actually fuelling anti-Semitism around the world.
Hart did not find a publishing house that would publish his book, and thus founded his own in Britain to publish it. In fact, he mentioned two reasons why this happened despite his professional reputation: the first reason was the publishers’ fear of reprisal by the Zionists, and possibly losing advertisements and endorsements, while the second reason was that Hart’s peer journalists did not want to be accused of anti-Semitism, should they express views in favour of the book.
Personally, I found useful information in every single page of the book, such as the author’s narration of how Abraham Feinberg, the father of the Israeli nuclear bomb, financed Lyndon Johnson’s campaign in the elections. It should be mentioned here that I had written in this column once about the story of Lyndon Johnson’s Jewish mistress, Mathilde Krim, in the White House, on the day the 1967 war started.
The whole book is worth reading, as it is a sea of precious information. Chapter 41 for instance, is rich with details about the conspiring of Ariel Sharon, the ignorance of George W. Bush, the story of the reoccupation of Palestinian cities, and how the attempt to topple Abu Ammar took place, in addition to details about Abu Mazen’s ascent to the post of prime minister in the summer of 2003. Nevertheless, I want to say that the latter did not forfeit any Palestinian rights, nor did he ever compromise.
In any case, I believe that the history of conspiracy, terrorism and extremism is repeating itself today with Benjamin Netanyahu and his gang. Most likely, we will not learn the lessons of the recent past in order to deal with the present.
I shall continue tomorrow
Langganan:
Postingan (Atom)