Jakarta Selayang Pandang
Tidak banyak yang berubah ketika saya kembali menginjakkan kaki di Cengkareng. Bandara Cengkareng pelayanannya masih sama, antrian cek di imigrasi masih panjang dan cukup melelahkan. Sebab hanya tiga loket yang bekerja walau ada enam pintu loket. Dibandingkan dengan Bandar El Benizelos Yunani yang cuma punya empat loket tapi semua loket bekerja.
Jalan macet masih sama, tidak ada jalan yang tidak macet di Jakarta. Perubahannya sedikit saja. Sebab polisi kini tampak rajin mengatur jalan-jalan yang menjadi biang kemacetan. Saya banyak melihat polisi bekerja di beberapa jalan seputar kampus BINUS Rawa Belong, daerah jalan raya Ciledug yang menuju Blok M dan masih banyak jalan lainnya. Polisi yang dahulu suka menyetop pengemudi mobil dan motor di daerah Monas masih Nampak. Namun kini tidak tampak ada kegiatan pemberhetian mobil atau motor. Sebab polisi berdiri di dekat spanduk yang berukuran besar bertuliskan “Pemberi Suap dan Penerima Suap sama-sama akan dihukum”. Mungkin polisi sudah ngeper sama KPK yang berkantor pusat di Kuningan. Atau saya yang memang belum sempat melihat polisi sedang beraksi.
Perbedaan yang menyolok Jakarta tahun lalu dan kini adalah beberapa iklan yang terpampang di jalan raya dan juga sesekali muncul iklannya di televisi. Iklan tentang kota Jakarta sebagai tujuan wisata. Walau iklan ini saya anggap sangat terlambat, namun cukup dibanggakan juga kesadaran bahwa Jakarta memang sangat besar berpotensial sebagai tujuan wisata domestic dan dunia. Sayangnya iklan visit Jakarta kalah banyak durasinya dibanding iklan partai yang muncul sangat kerap di layar kaca. Jika saja iklan visit Jakarta, atau visit Sumatra diberi lebih banyak space iklan pasti akan membawa hasil lebih banyak wisatawan yang datang. Lihat saja India yang acap kali memperkenalkan Kerala dan Mumbai di CNN, atau Malaysia yang memperkenalkan KL.
Saya hanya bisa berharap pemasang iklan partai bisa berbagi space buat spot iklan untuk mempopulerkan Jakarta dan kota lainnya.
Wisatawan Yunani sudah sangat akrab dengan Bali. Saya jamin 100% Bali tidak perlu diiklan lagi. Sebab sering saya dengar pertanyaan calon wisatawan asing yang ingin datang ke Bali dan transit di Jakarta. Sering bertanya mengenai apa yang bisa dilihita di Jakarta. Saya biasanya hanya menjwab melihat musium dan banyak pusat belanja (mal).
Walau banyak sekali mal dan pusat belanja di Jakarta membawa dampak perubahan budaya masyarakat menjadi konsumtif sekali. Misalnya remaja memilih janjian ketemuan di mal dan makan di mal. Padahal ibunya atau si embok PRT sudah masak di rumah. Namun saya melihat jumlah mal yang hampir mencapai 70 tempat di Jakarta, bisa dijual sebagai obyek turis yang suka belanja.
Gejala ini sudah mulai tampak, ketika saya pulang ke Yunani naik Qatar Airways. Tampak beberapa keluarga asal Singapura yang pulang belanja dari Jakarta. Sebab harga tekstil dan pakaian di Jakarta lebih murah dibandingkan dengan negara lain.
Iklan dan ajakan agar berwisata ke Jakarta, belum didukung dengan perbaikan pelayanan untuk turis. Malah saya melihat sekarang sudah tidak ada lagi Andong atau Sado yang biasanya berseliweran di seputar Senayan dan perbatasan dengan Palmerah.
Ojek juga bisa dijadikan salah satu angkutan turis. Bisa saja Pemda mendandani kendaraan Ojek menjadi hebring dan menarik perhatian. Ojek dihias dan tukang ojek diberi pakaian tradisional Betawi. Tarif ditentukan standar sehingga tidak ada turis yang merasa diperas atau dibohongi.
Penataran buat pengemudi Taxi di Jakarta. Agar tidak lagi membawa penumpang nyasar atau pura-pura tidak tahu jalan. Bisa juga dibuat GPS (mesin penunjuk jalan) buatan dalam negeri agar harganya terjangkau dibeli perusahaan taxi.
Bersambung
Jumat, 19 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
tulisan baguss banget mbak.narasinya enak dan bisa dinikmati. kapan2 bagi2 pengalamannya di Yunani.hehehe (hidayatullah)
Posting Komentar