Rabu, 28 Oktober 2009

Satu Buku untuk Satu Tahun

Alhamdulillah sejak 2007 buku yang saya tulis terbit setiap tahunnya. Bak kata pepatah 'ala bisa karena biasa". Buku ketiga saya ini ditulis beramai-ramai. Buku yang ditulis beramai lebih enak dibaca ketimbang oleh seorang penulis. Saya bertekad untuk buku yang akan terbit tahun depan, insyaAllah saya bersolo karir menulis sendiri.

Mudahnya menulis sendiri adalah kalimat dan gaya bahasanya seragam dan punya ciri khas tertentu. Istilahnya made in, mirip baju yang dibuat oleh seorang perancang yang punya ciri khas tersendiri dan kelas tersendiri. Buku juga demikian, jika menulis buku isinya monoton dan kurang menarik pembaca tentu akan membuat kecewa pembelinya. Karena itulah saya menulis sambil membayangkan bagaimana respon pembaca saat membaca buku yang sedang saya tulis. Intinya saya menulis setiap kalimat agar pembaca tidak bosan, menarik dan membuat penasaran hingga ingin melalap habis setiap halaman hingga tamat.


Memang tak mudah menulis sesuai keinginan pembaca, untuk itu saya selalu berkaca pada diri sendiri. Apa yang saya sukai saya tulis dan gaya tulisan yang tidak saya sukai maka tidak akan saya tulis. Pengalaman hidup diri sendiri akan selalu menarik perhatian orang lain. Orang selalu ingin tahu tentang diri orang lain. Untuk itu saya selalu menulis berdasarkan pengalaman hidup saya sehari-hari. bahkan peristiwa kecil bisa menjadi kisah yang panjang dan menarik.

Seperti kisah di bawah ini misalnya:

28 Oktober di Indonesia diperingati sebagai hari sumpah pemuda. Sedangkan di Yunani diperingati sebagai hari nasional, hampir mirip perayaan hari Kemerdekaannya. 28 Oktober di Yunani adalah hari OXI artinya Hari TIDAK. Tidak maksudnya adalah perjuangan bangsa Yunani dengan berani mengatakan TIDAK pada pasukan Italia yang dipimpin oleh Mussolini yang ingin menjarah Yunani. Musslolini adalah pemimpin Italia yang berideologi fasisme.

Perayaan 28 Oktober di Yunani, ditandai dengan parelasi atau pawai oleh semua anak sekolah, dari anak-anak play grup hingga ke jenjang universitas. Juga polisi dan pasukan pemadam kebakaran dan setiap lembaga apa saja yang bersedia pawai meramaikan perayaan hari OXI ini.

Pawai sekolah selalu berurutan sesuai nomor sekolah, misal SD nomor 1 maka SD tersebut mendapat giliran lebih dahulu maju. Setiap pawai dikepalai oleh seorang anak yang membawa bendera Yunani. Memilih anak yang membawa bendera sudah ditetapkan secara nasional, bahwa anak yang mendapat nilai tertinggi dan duduk di kelas tertinggi dia yang akan membawa bendera.

Hingga menjadi suatu kebanggaan orang tua jika anaknya membawa bendera Yunani. Namun hal ini tidak berlaku untuk anak keturunan asing. Tahun 2006 terjadi protes besar-besaran akibat seorang murid keturunan Albania mendapat nilai tertinggi di kelas 6 SD dan dia dipilih membawa bendera Yunani. Sejak protes itu, maka tidak pernah lagi terjadi seorang anak keturunan asing mendapat nilai tertinggi.

Hal tersebut menimpa diri putri saya Aisyah. Aisyah selalu mendapat nilai 10 untuk setiap mata pelajaran dan ujian hasilnya 10. Semua orang tua pasti mengetahui hasil ujian sebab kertas ujian harus ditanda-tangani oleh orang tua dan dikembalikan ke guru. Aisyah cerdas alami, padahal dia tidak pernah saya kirim ke kursus atau les seperti anak-anak asli Yunani yang mengirim anak-anak mereka ke lembaga bimbingan belajar bahasa, matematika dll. Aisyah pintar karena dia anak yang punya gen MCV (baca buku Love and Shock). Anak hasil perkawinan antarbangsa punya kecerdasan diatas rata-rata.

Menghindari Aisyah yang bawa bendera Yunani, maka dua hari sebelum parelasi (pawai) Kiria Dora mengumumkan bahwa Thanasis-lah juara 1 di kelas 6 SD tersebut. Dan Aisyah juara 2, Katerina juara 3, Marillena juara 4 dstnya. Sebab 6 anak yang memimpin pawai, tiga di depan dan 3 di belakang, kemudian diikuti oleh anak-anak lainnya seluruh kelas dan kelas 5 serta 4.

Saya terima dengan senang hati, walau sempat saya tidak mengizinkan Aisyah ikut pawai berhubung saya tidak suka anak saya turut dalam keramaian dan pesta-pesta orang Yunani. Setelah Aisyah menerangkan bahwa dia wajib ikut sebab dia termasuk jajaran anak yang 6 maka mau tak mau saya harus mengizinkannya ikut pawai. Baju yang dipakai pawai adalah mirip seragam SMP yang dipakai pelajar Indonesia.

Saat detik-detik saya menunggu Aisyah melewati pawai, ada rasa haru dalam hati saya. Saya hampir sempat menangis karena haru. Dia berjalan di barisan terdepan di sebelah kanan Thanasis pembawa bendera. Adiknya si Abang yang tidak mau ikut pawai, memanggil nama Kakaknya "Aisyah! Aisyaaah!...."
Seketika Aisyah menoleh melihat kami hingga dia salah dalam melangkah. Si bungsu Hadi juga ikut pawai memakai baju kemeja putih, topi red barret dan dasi merah. Sayang kami tidak membeli dasi buat Hadi, dia pawai tanpa dasi.