Selasa, 24 Juni 2008

Pesta Mewarnai III di Pesta Buku 2008

PESTA MEWARNAI III


Ikuti lomba mewarnai gambar bertema “STOP PEMANASAN GLOBAL!”
di Pesta Buku Jakarta-IKAPI BOOK FAIR 2008.

Persyaratan peserta:
- Kategori: A usia 4—6 tahun
B usia 7—9 tahun
- Membawa perlengkapan sendiri (crayon set, meja gambar, dll.)
- Membawa bukti fotocopy akte lahir

Tempat: Selasar lantai 2
Istora Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta
Acara: Sabtu, 5 Juli 2008 pukul 10.00—13.00 WIB

Acara diramaikan oleh:
- Dongeng Cerita Rakyat bersama Kak Riyan
- Badut-badut lucu


HADIAH PEMENANG

Kategori A (usia 4 — 6 tahun)
Juara I : uang Rp 1.500.000 + Piala + Piagam + Bingkisan Sponsor
Juara II : uang Rp 1.000.000 + Piala + Piagam + Bingkisan Sponsor
Juara III: uang Rp 750.000 + Piala + Piagam + Bingkisan Sponsor

Juara Harapan I : uang Rp500.000 + Piala + Piagam + Bingkisan Sponsor
Juara Harapan II : uang Rp400.000 + Piala + Piagam + Bingkisan Sponsor
Juara Harapan III: uang Rp300.000 + Piala + Piagam + Bingkisan Sponsor

Kategori B (usia 7 — 9 tahun)
Juara I : uang Rp2.000.000 + Piala + Piagam + Bingkisan Sponsor
Juara II : uang Rp1.500.000 + Piala + Piagam + Bingkisan Sponsor
Juara III: uang Rp1.000.000 + Piala + Piagam + Bingkisan Sponsor

Juara Harapan I : uang Rp800.000 + Piala + Piagam + Bingkisan Sponsor
Juara Harapan II : uang Rp600.000 + Piala + Piagam + Bingkisan Sponsor
Juara Harapan III : uang Rp400.000 + Piala + Piagam + Bingkisan Sponsor

Kamis, 19 Juni 2008

Menyambut Pesta Buku 2008; Buku Anak Islam


"If there’s a book you really want to read but it hasn’t been written yet, then you must write it."
~Toni Morrison (Wanita Pemenang Hadiah Nobel 1993 di bidang Literature)




Di tahun 80-an (1980-) saya keranjingan membaca buku karya Enid Blyton. Harga buku saat itu masih terjangkau. Saya mengumpulkan uang jajan dan memilih buku sebagai jajanan. Cukup banyak juga serial karya pengarang wanita Inggris tersebut. Hingga setiap saya membeli buku, anak-anak tetangga sering meminjam. Bahkan untuk anak orang yang mampu, saya sewakan buku-buku itu sebagai modal untuk membeli buku judul terbaru.


Dua puluh delapan tahun lalu belum banyak buku anak-anak yang ditulis oleh penulis Indonesia. Belum ada buku serial Meo yang ditulis oleh Eka Wardhana, belum ada serial akhlak yang ditulis oleh Bambang Trim dan buku-buku komik Islam AA Gymjuga belum muncul ketika itu. Apalagi Ali Muakhir yang sangat produktif menulis tahun 2000-an, dia mungkin masih sebagai pembaca buku saja.

Saya merasa bahagia bahwa kemajuan industri buku di Indonesia cukup meriah. Buku-buku anak-anak terjemahan dari luar negeri yang membanjiri pasar buku Indonesia sudah ada counterpart-nya. Penerbit Mizan bisa mengimbangi lajunya produksi buku komik atau buku anak-anak luar negeri yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia.

Baru saja saya melihat judul-judul buku anak yang diterbitkan oleh Mizan melalui websitenya. Lumayan! Itulah kata yang pantas saya berikan untuk penerbit sekaliber Mizan.

Alasan saya hanya mengatakan lumayan, sebab secara statistik saat ini jumah penduduk Indonesia kurang lebih 200 juta orang beragama Islam. Hasil sensus penduduk tahun 2000, jumlah anak-anak Indonesia kelompok umur usia balita ada 10% dari total jumlah seluruh penduduk Indonesia. Sedangkan anak-anak usia 5-14 tahun berjumlah 23% dari total jumlah penduduk Indonesia. Dan kelompok remaja 15-19 tahun ada 10,51% dari total jumlah 201.241.999 orang yang tercacah dan bertempat tinggal tetap.

Jika dihitung rata-rata jumlah anak-anak dan remaja hasil sensus tahun 2000, maka penduduk Indonesia lebih dari 40% adalah anak-anak dan remaja. Tentu saja jumlah judul buku untuk anak produksi dalam negeri belum mencukupi kebutuhan anak-anak negeri kita.

Saya juga mengamati, bahwa kebiasaan pasar buku di Indonesia kurang memberikan penghargaan untuk buku anak. Resensi buku yang ditulis di seluruh media massa di tanah air, hampir semua menampilkan resensi buku untuk dewasa.

Jika saya boleh berpendapat kurangnya penghargaan untuk buku anak-anak merupakan salah satu faktor yang membuat anak-anak lebih senang menonton sinetron daripada membaca buku. Disamping faktor lain, misalnya ada orang tua yang kurang kesadarannyua untuk membelikan anaknya buku daripada mainan.

Industri buku untuk anak-anak Islam masih perlu dipacu laju jalannya. Banyak tema buku yang belum diterbitkan untuk anak-anak dan remaja (teen) yang berkaitan dengan aqidah dan ahklak. Selain itu harga buku untuk anak-anak Islam ini harus diperhatikan. Sebab saya melihat ada buku untuk anak-anak yang dijual dengan harga mahal.

Sebagai konsumen, saya senang membeli buku untuk anak-anak dengan harga yang terjangkau . Patut diacungi jempol harga buku untuk anak-anak Islam dapat dibeli dengan harga dibawah Rp10.000.

Sedangkan tema buku untuk anak Islam, diperlukan lebih banyak judul-judul buku yang berkenaan dengan perilaku, moral dan akhlaq. Sebab buku anak-anak yang berkaitan dengan aqidah lebih banyak di pasaran dari pada buku mengenai pembentukan karakter yang Islami.

Megara, 20 Juni 2008.

Minggu, 15 Juni 2008

Resensi Buku Sang Pemimpi


Judul Tetralogi Laskar Pelangi #2: Sang Pemimpi
No. ISBN 979-3062-92-4
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Pustaka
Tanggal terbit: Juli - 2006
Jumlah Halaman : 292
Jenis Cover: Soft Cover
Dimensi(L x P): 130x205mm
Kategori: Petualangan
Harga :Rp40.000
Text:Bahasa Indonesia


Buku yang sangat menginspirasi, sesuai dengan judulnya "Sang Pemimpi", yang menceritakan kisah para perajut mimpi dari tanah Belitong. Semenjak membaca buku pertama Tetralogi Laskar Pelangi, saya langsung jatuh cinta dengan jalinan kisah yang edukatif dan penuh pesan moral ini. Serasa kembali ke masa-masa menimba ilmu di kampung halaman Gunungkidul tercinta. Masa-masa merajut impian, menimba ilmu dan menggantung harapan dan cita-cita masa depan.

Tampak komikal pada awalnya, selayaknya kenakalan remaja biasa, tapi kemudian tanpa Anda sadari, kisah dan karakter-karakter dalam buku ini lambat laun menguasai Anda. Karena potret-potret kecil yang menawan akan menghentakkan Anda pada rasa humor yang halus namun memiliki efek filosofis yang meresonansi. Karena arti perjuangan hidup dalam kemiskinan yang membelit dan cita-cita yang gagah berani dalam kisah dua orang tokoh utama buku ini: Arai dan Ikal akan menuntun Anda dengan semacam keanggunan dan daya tarik agar Anda dapat melihat ke dalam diri sendiri dengan penuh pengharapan, agar Anda menolak semua keputusasaan dan ketakberdayaan Anda sendiri.


Ada satu kutipan kalimat Arai kepada Ikal yang sangat kuingat, "..mungkin setelah tamat SMA kita hanya akan mendulang timah atau menjadi kuli, tapi di sini Kal, di sekolah ini, kita tak akan pernah mendahului nasib kita!"

Kutipan ini sungguh dahsyat, mampu menisbikan segala kekurangan, kelemahan, dan keraguan yang secara naluriah menghinggapi anak manusia yang meretas cita-cita. Sangat inspiratif terutama bagi kalangan generasi muda, pelajar dan mahasiswa yang tengah di persimpangan jalan menggapai harapan dan masa depan. Dengan segala kekurangannya, Ikal dan Arai mampu menjaga keteguhan dan senantiasa pantang menyerah dalam perjalanannya. Perjalanan menuju sumur ilmu impian di Universitas de Paris Sorbonne.

Jalinan kisah yang dibangun secara apik oleh sang penulis serasa membius kita untuk mengenal tanah Belitong, kehidupan anak melayu pulau yang memaknai kesengsaraan dalam kehidupan dengan keteguhan bekerja dan merajut impian. Tak lupa sang penulis juga memberikan bumbu-bumbu asmara yang cukup menghibur dan terkadang menggelikan serta dibalut aura keteguhan dalam sosok Arai yang pantang menyerah. Sementara kegelian lain dihadirkan pula dalam sosok Jimbron yang lemah, lugu, unik namun setia kawan.

Tokoh sentral dalam cerita ini, si Ikal, menyajikan karakter yang manusiawi, yang berusaha untuk survive dan bangkit di tengah keterpurukannya, yang belajar dari segala sesuatu di sekelilingnya, dan yang tak segan memberikan pencerahan kepada sahabat-sahabatnya. Sungguh banyak pelajaran positif yang bisa kita ambil dari buku ini. Apabila saya masih berusia belasan tahun dan sedang di bangku sekolah, niscaya buku ini akan memberikan kekuatan ekstra yang membangkitkan potensi terdalam guna meraih kesuksesan.

Salut kepada sang penulis yang telah menghadirkan buku-buku yang penuh jalinan kisah bermanfaat, inspiratif dan membangkitkan ini. Terutama buku Sang Pemimpi yang mungkin telah menjadi ladang inspirasi bagi ribuan pelajar dalam meretas harapan dan cita-citanya. Saya sangat menyarankan bagi siapapun yang sedang haus akan inspirasi untuk sukses, motivasi untuk maju serta kekuatan untuk bangkit, agar membaca buku dengan lembaran yang tipis namun tebal akan inspirasi ini, Sang Pemimpi.

Resensi Novel De Winst


Judul Buku: De Winst: Sebuah Novel Pembangkit Idealisme
Penulis: Afifah Afra
Penerbit: Afra Publishing, Indiva Media Kreasi
Waktu Terbit: Januari 2008
Halaman: 336; 20,5 cm
Harga:

SEMACAM apakah tatanan dunia tujuh puluh tahun yang akan datang, saat terjadi
pergantian milenium? Apakah peradaban akan disetir oleh kalangan yang paling
kuat secara ekonomi? Yang jelas, kehidupan saat ini hingga pada masa yang akan
datang telah disketsa oleh para pemuja De Winst.

Renungan Sekar Pembayun itu dengan galau menutup 22 bab plus epilog novel
sejarah karya Afifah Afra ini. Setahun sebelum cerita dipungkas oleh Sekar di
pengasingan, kisah bermula dengan kedatangan Rangga Puruhita dari pendidikan
sarjana ekonomi di Leiden, Belanda.

Pulang menyandang yudisium tertinggi, kecendekiaan Rangga langsung digedor oleh
ketertindasan kaum pribumi. Masuk sebagai bagian elite dalam sistem ekonomi
kapitalisme pabrik gula, tak cukup membuat perbaikan menjadi nyata. Perjuangan
dari dalam terlalu mempermainkan kesadaran akal sehatnya. Hingga di puncak
pembelaan terhadap warga yang menuntut keadilan harga sewa tanah, Rangga justru
mendapat putusan pecat. Pertemuan dengan Eyang Haji dan usahawan muslim turut
menguatkannya untuk memilih jalan lain yang lebih leluasa dan berdampak nyata:
perlawanan dengan pemberdayaan.

Pematangan kesadarannya itu, sedikit banyak dipengaruhi oleh interaksi dengan
Kresna (misterius), Pratiwi, Sekar, dan Jatmika yang lebih dulu terlibat dalam
perjuangan Partai Rakyat. Salah satu sulut buat Rangga juga ialah kehadiran
sosok antagonis, Jan Thijsse yang menjadi kepala pabrik gula baru dengan
kapitalisme destruktif dan mental penjajah tulen. Belum lagi fakta bahwa Thijsse
ternyata suami Kareen, sosok wanita Belanda yang pernah menarik hati Rangga
ketika sekapal dalam perjalanan pergi-pulang Indonesia-Belanda. Ditambah dengan
kisah tradisi keraton yang menjerat Rangga dan Sekar, maka seiring itu pula
kisah cinta merambatkan julur dan membelit-belit jalan cerita.

Tanpa bertopeng kata, novel ini jelas menghadirkan tiga ideologi sekaligus:
Islam, kapitalisme, dan sosialisme-marxisme (bukan komunisme). Memang inilah
ideologi yang menyemangati panggung sejarah Indonesia jelang kemerdekaan-
-kecuali kapitalisme (dan imperialisme) sebagai musuh bersama. Soekarno dalam
Suluh Indonesia Muda (1926) menyebutnya (plus nasionalisme) sebagai tiga sifat
bagi "njawa pergerakan rakjat" di Indonesia dengan maksud sama: Indonesia
merdeka (Soeripto, 1962).

Sayangnya, novel yang telanjur eksploratif dan mencerahkan ini belum
habis-habisan dalam menguak keempat isme itu. Penyebutan nama terkait ideolog(i)
besar dunia pun masih terkesan cuma selayang pandang. Kecuali memang,
kapitalisme jelas jadi bulan-bulanan. Ini pun seperti tanpa "pembelaan" memadai,
karena ideologi mendunia itu dipersonifikasikan secara berlebih kepada moralitas
seburuk Jan Thijsse.

Kapitalisme sendiri terlembaga dalam pabrik gula. Secara ekonomi, industri ini
memang memberi kemakmuran luar biasa kepada Belanda. Hanya, harapan untuk
menemukan kiprah terorganisasiperger akan muslim dalam novel karya peraih FLP
Award 2002 ini, justru masih belum cukup terpuaskan. Padahal dengan latar pabrik
gula, pembaca seakan digoda dengan ingatan sejarah perlawanan pesantren di
nusantara yang sepertinya belum banyak mengemuka. Kawasan pakauman yang biasanya
berdiri "menantang" di dekat pabrik gula dapat menjadi indikasi awalnya.

Secara keseluruhan layak diakui, De Winst relatif mampu menyegarkan beragam hal
secara reflektif utamanya seputar visi kemajuan, misi kemandirian, intensi
keadilan, dan obsesi kesejahteraan berkerangka keindonesiaan dan tantangan
globalisme. Kesemuanya benar-benar dalam atmosfer idealisme, dan sesuai dengan
kadarnya, juga romantisme.

Kalau Deddy Mizwar sempat risau, sebab belum ada lagi film baru bertema
kebangsaan di momen 100 tahun kebangkitan nasional seperti sekarang (sehingga
menayang ulang Nagabonar), maka dari dunia novel, karya penulis FLP ini seolah
turut menjawab kerisauan itu--dan mungkin kerinduan kita semua. (Zaki
Fathurohman, mahasiswa Institut Pertanian Bogor)***

Catatan tambahan resensi Hartati Nurwijaya;
Karena saya belum membeli buku ini disebabkan kendala lokasi di luar Indonesia. Namun saya mencoba memberikan sedikit resensi bagi kafer Dew Winst. Sangat disayangkan jika isi buku Dew Winst yang sangat menarik, tidak diimbangi oleh design kafer yang bagus. Warna kafer buku ini sangat gelap dan dari gambar yang ditampilkan tidak menunjukkan bawah ini novel sejarah yang berbau politik. Dari kafernya tampak lebih seperti novel percintaan yang buram dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan isinya.

Sumber:
http://newspaper. pikiran-rakyat. co.id/prprint. php?mib=beritade tail&
id=17362

Resensi Buku La Tahzan for Broken Hearted Muslimah


Judul: La Tahzan for Broken Hearted Muslimah
Penulis: Asma Nadia dkk
Penerbit: Lingkar Pena Publishing House
Tebal: 214 halaman
Cetakan: I, April 2008

Harga: Rp 38.000,00


Sebelumnya, Lingkar Pena Publishing House (LPPH) pernah menerbitkan
buku-buku seputar pengalaman berurai air mata karena cinta. Sebut saja
Galz Please Don't Cry, Bidadariku Bukan Untukku, dan Jatuh Bangun
Cintaku. Kisah-kisah nyata dalam La Tahzan for Broken Hearted Muslimah
ini serupa tapi tak sama dengan JBC, bedanya JBC diperuntukkan pembaca
remaja dan lebih kental nuansa keremajaannya.

Setelah membaca seluruh isi buku, berikut beberapa esai yang
meninggalkan kesan amat spesial bagi saya:

1. My Stupid Love at First Sight (Dewi Rieka). Lagi-lagi Dedew
menunjukkan kemahirannya berkocak-ria. Setting di Palembang yang
membuatnya lain dari kisah-kisah cinta remaja pada umumnya kian
melengkapi keelokan tulisan ini. Seraya menuai hikmah, saya
tergelak-gelak dari awal sampai akhir. Dedew mengajak kita
menertawakan diri sendiri dengan segala keluguan dan kenekadannya.
Salah satu istilah yang menempel dalam benak saya adalah sebutan Dewi
Meranggas. Di sini Dedew bertutur lebih lancar dibandingkan esai
satunya, Jatuh Cinta Berjuta Rasanya.

2. Erlang (Intan Arifin). Semenjak menyimak behind the scene-nya
menurut Mbak Intan sendiri di milis pembacaanadia, saya sudah
terdorong untuk membaca esai ini lebih dulu. Tepatlah jika pengalaman
Mbak Intan diletakkan paling muka. Saya trenyuh, terhanyut dalam
keelokan pemaparannya, keterbukaannya yang lembut, sehingga halaman
demi halaman ternikmati tanpa merasa letih karena panjangnya cerita.

3. Cintaku Putus Nyambung (Dyotami). Saya menyukai tulisannya yang
senantiasa segar seperti yang dituangkan Dyo dalam The Real Dezperate
Housewives dahulu. Ada semangat dalam kisah ini. Salah satu yang
menjadikan buku La Tahzan for Broken Hearted cocok dikonsumsi wanita
dewasa maupun remaja.

4. Keping-keping Puzzle (Novi Khansa'). Nopi bukan hanya sukses
menjiwai struktur tulisan khas buku-buku Mbak Asma, tetapi bercerita
dengan lirih tanpa merintih-rintih. Ibarat tangisan, airmata yang
tumpah tak sampai membanjiri lantai. Pemaparan kesedihan yang
proporsional dan relevan dengan judulnya. Membuat saya membayangkan
cinta yang berserakan (karena pecah).

Selebihnya, para kontributor mengisahkan kegagalan masing-masing.
Pengalaman teman yang gagal taaruf berkali-kali, terjebak cinta pada
lelaki beristri, bertepuk sebelah tangan, atau dibiarkan terkatung
tanpa keputusan jelas. Semua mengandung pelajaran betapa cinta kadang
mampu membutakan akal sehat dan ditutup dengan uraian Mbak Asma
berikut hadits-hadits yang sesuai.

Kekurangan buku berkaver indah ini adalah banyaknya salah cetak. Di
flap sampul depan sudah tampak nama Dedew menjadi
Dewi Rieke. Pada profil penulis, misalnya, judul-judul karya tidak
dimiringkan. Huruf besar-kecil pun kerap terlewat. Namun yang paling
mengganggu adalah akhir tulisan Dian Ibung yang tampak belum
selesai karena kalimat menggantung 'Betapa Indahnya Ramadhan ketika
aku menyiapkan sahur untuk suami dan anak-anak..'(halaman 27).

Secara keseluruhan, La Tahzan for Broken Hearted Muslimah menawarkan
aneka rasa dalam kegagalan cinta dan memperoleh teman hidup idaman.
Merangkum duka, membuat merinding, menggeleng-geleng dan
mengangguk-angguk pada saat berdekatan. Sebuah buku yang patut dibaca
berulang-ulang.

--
Sumber Rini Nurul Badariah
http://rinurbad.multiply.com
http://sinarbulan.multiply.com

Resensi Buku Sang Pembelajar Yang Tak Henti Belajar


Judul buku: Sang Pembelajar Yang Tak Henti Belajar
Oleh : Andrie Wongso
Penerbit : AW Publishing
Cetakan I : Desember 2007
Ukuran : 13 X 18.5 cm
Halaman : 226 halaman
ISBN : 978-979-99744-2-6
Harga : Rp 40.000

Sejarah sebenarnya adalah torehan kisah yang bisa jadi sarana pembelajaran bagi semua. Karena itu, siapapun penuturnya, asal disampaikan dengan jujur dan apa adanya, pastilah mengandung banyak hal yang bisa dipelajari dan dimaknai.

Namun, tentu, sejarah akan jadi lebih kaya jika dituturkan oleh seseorang yang mengalaminya sendiri. Karena itu, banyak tokoh yang kemudian menyusun puzzle kehidupannya dengan menulis otobiografi. Ini sah-sah saja. Tetapi, jika biografi itu ditulis oleh orang lain, tentu akan jauh lebih kaya dan sarat makna. Sebab, justru dari kacamata orang lainlah, sosok seseorang bisa dikenal seutuhnya. Ibarat saat ingin melihat diri sendiri, kita pasti butuh bantuan cermin.

Fungsi cermin inilah yang diposisikan sangat tepat oleh sang penulis buku Andrie Wongso; Sang Pembelajar. Sebagai seorang isteri dari motivator nomor satu Indonesia, Lenny Wongso mampu menulis buku ini dengan sangat cerdas. Ia mengulik sisi kehidupan Andrie yang tak pernah terungkap sebelumnya dengan rangkaian cerita yang sangat inspiratif.

Meski berada sangat dekat dengan figur yang ditulisnya, Lenny Wongso tetap mampu menjaga orisinalitas tulisannya sehingga tak terjebak pada idiom buku motivasi. Bahkan, buku ini justru bisa hadir menjadi semacam kumpulan cerita bersambung yang sangat menarik dibaca oleh siapa saja.

Bagaimana kisah awal perjumpaan Andrie dan Lenny yang sangat unik, lucu, dan segar, membuat buku ini mampu membuka berbagai sisi menarik dari seorang Andrie Wongso. Betapa perjuangan cintanya yang sempat ditentang mertua (orang tua Lenny), ternyata justru menumbuhkan semangat juang demi hidup yang membara. Niat membuktikan menjadi yang terbaik, demi sebuah cinta dan harapan, membuat Andrie tumbuh dengan karakter kuat dan semangat yang tak pernah padam.

Hal itu juga yang terlihat dari kisah masa kecilnya yang mungkin terasa sangat pahit. Saking miskinnya, hanya dengan mencium aroma masakan sebuah restoran, Andrie kecil sudah merasakan kenikmatan yang luar biasa. Gemblengan hidup keras dan tekad mengubah nasib inilah yang mampu diungkap Lenny dengan kisah yang bukan hanya menyentuh, tapi sangat memotivasi siapa saja pembacanya.

Berbagai pertanyaan tentang sosok Andrie Wongso terjawab tuntas dalam buku ini. Bagaimana ia yang hanya SDTT mampu menyunting gadis keluarga berada yang lulusan sarjana hukum menjadi jelas dalam buku ini. Bagaimana pula kiatnya dalam menjalankan perusahaannya, Harvest dan berbagai usaha lain juga diungkap dengan lebih dalam.

Dari berbagai kisah itulah, kita bisa memetik banyak pelajaran penting dari sepotong sejarah milik seorang Andrie Wongso. Jika judul buku menyebut Andrie Wongso sebagai "Sang Pembelajar", memang itulah dirinya apa adanya. Melalui penderitaan hidup, ia mampu meraih semua impian sehingga dapat meraih keindahan dan nilai terbaik kehidupannya. Tak salah jika kemudian ia mendapat julukan motivator nomor satu Indonesia. Sebab, semua motivasinya muncul dari pengalaman pribadi sehingga ruhnya mampu menusuk hingga ke relung hati setiap pendengarnya.

Buku ini juga menjelaskan bahwa filosofinya "Success is My Right" memang benar-benar murni dari hal yang dialaminya. Selain itu, kesediaannya berbagi semangat dan motivasi, juga menjadi bukti bahwa Andrie Wongso memang layak untuk mendapat satu predikat lagi: Sang Pembelajar Sejati.

Karena itu, membaca buku ini tak lagi hanya membaca semacam pelajaran sejarah, namun membaca kisah pembelajaran hidup senyatanya. Bahwa hidup butuh diperjuangkan, bahwa sukses adalah hak setiap orang, bahwa manusia selayaknya tak boleh berhenti belajar, sebagaimana semangat seorang Andrie Wongso yang terus menyala dalam setiap langkahnya memotivasi bangsa.

Sumber; www.andriewongso.com

Resensi Buku Perkawinan Antarbangsa Love and Shock


Judul : Perkawinan Antar Bangsa, Love and Shock!
Penulis : Hartati Nurwijaya
Penerbit: Restu Agung
Cetakan : I / 2007
Tebal : 211 hlm
Harga : Rp50.000



Menikah dengan orang asing masih dipandang sebagai hal yang negatif oleh sebagian besar anggota masyarakat Indonesia. Belum ada informasi yang cukup membahas masalah dalam perkawinan antarbangsa mendorong penulis untuk menulis buku ini. Seperti pernikahan pada umumnya, perempuan Indonesia yang menikah dengan WNA pun menemui beberapa masalah dan konflik dalam kehidupan perkawinannya. Apalagi dengan adanya perbedaan kebudayaan yang melatarbelakangi kehidupan sehari-hari. Melalui buku ini pula, penulis berusaha membagi cerita mengenai suka dan duka kehidupan pernikahan dari enam perempuan Indonesia pelaku perkawinan campur (mixed marriage) yang memiliki latar belakang pendidikan dan karir yang memadai.

Di bab pertama, penulis membahas mengenai definisi, kelebihan serta kekurangan dari perkawinan campur. Selain itu, bab ini juga membahas tentang beberapa faktor yang perlu diperhatikan sebelum menikah dengan WNA dan juga beberapa tips untuk mendapatkan lelaki WNA yang sesuai dengan kondisi dan keinginan. Sub bab yang juga penting adalah mengenai ragam permasalahan umum yang sering dihadapi para perempuan pelaku perkawinan campur. Salah satunya adalah topik yang berhubungan dengan sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terkait imigrasi dan status anak hasil perkawinan campur.

Di dalam bab kedua, pembahasan lebih difokuskan kepada kejutan budaya yang dihadapi oleh para pelaku perkawinan campur. Di sini, penulis menggunakan beberapa teori dari sisi ilmu antropologi dan sosiologi. Di sub bab bagian akhir dibahas pula mengenai cara mengatasi kejutan budaya.

Kisah nyata mengenai hidup di negara beda budaya, sikap resistensi para wanita Indonesia di negeri asal suami, dan perubahan peran dari wanita bekerja di kantoran menjadi ibu rumah tangga. Bagaimana mengatasi kejutan budaya dan hal–hal baru yang ditemukan ketika pertama kali datang dan menetap di negara suami , serta bertemu dengan orang tua dan keluarga suami.


Berbagai ragam pengalaman para pelaku perkawinan campur yang tinggal di luar negeri dapat dibaca dalam bab ketiga. Kisah mereka lebih terfokus pada kondisi Eropa karena mereka semua menikah dengan pria dari benua Eropa, yaitu Yunani, Italia, Swedia, Rusia, Belanda dan Swiss. Setiap kisah memiliki permasalahan tersendiri dan cara yang beragam dalam penanganannya.

Disayangkan lay-out buku belum tertata baik. Ada gambar yang ditampilkan buram, salah letaknya dan tidak sesuai keterangan gambarnya. Jenis huruf (font) buku yang dipilih tidak sesuai dengan jenis buku ini.

Buku ini dapat menjadi dua buku yang terpisah, sebab isi bab ke-4 memberi informasi lengkap mengenai enam negara asal para suami wanita yang menulis di buku ini. Secara umum buku ini sangat bermanfaat sebagai informasi tambahan bagi perempuan Indonesia sebelum melangkah ke jenjang pernikahan dengan WNA dan hidup di negara lain, khususnya keenam negara di Eropa tersebut di atas. Namun, buku ini juga berguna untuk membuka wawasan masyarakat umum bahwa pernikahan dengan WNA tidak semudah yang dibayangkan.

Minggu, 01 Juni 2008

Cara Unik Meluncurkan Buku

Cara Unik Meluncurkan Buku

“Human beings, who are almost unique in having the ability to learn from the experience of others, are also remarkable for their apparent disinclination to do so.”

~ Douglas Adams (Penulis Komik, 1952-2001)


Dari kejauhan dilaut lepas tampak seorang gadis pirang langsing berpakaian gaya cat woman warna merah terang berdiri tegak diatas jet ski sambil membawa tas transparan ala spionase (tas yang biasa para bandit gunakan menyimpan uang). Jet ski cepat itu mirip sekali yang biasa digunakan James Bond dalam adegan di film-filmnya.

Seketika jet ski mendekat ke kapal perang Royal Navy dan si gadis pirang naik ke atas dek kapal sambil menyerahkan tas kepada Sebastian Faulks. Isi tas dibuka dan muncullah buku seri terbaru James Bond yang dikeluarkan dalam 21 bahasa pada tanggal 28 Mei 2008 lalu.

Sebastian Faulks adalah penulis yang dipilih oleh ahli waris Ian Flemming untuk menulis seri terbaru lanjutan petualangan agen 007. “Devil May Care” ditulisnya dalam waktu 6 minggu dan sejak dikeluarkan kamis lalu buku ini sudah masuk daftar best seller di amazon.com British.

Di lain tempat, sore ini saya dikejutkan oleh berita di Star TV saluran televisi nasional Yunani. Berita sore jam 20.00 ( sore sebab musim panas matahari terbenam sekitar jam 21.00) memperlihatkan helicopter yang membawa Tung Dusem mengeluarkan uang kertas dari sebuah tas hitam. Ratusan orang berlari di lapangan sepak bola untuk menyambut uang yang berterbangan. Dikatakan oleh penyiar Star tv bahwa Tung Dusem adalah seorang penulis yang sedang meluncurkan bukunya terbaru. Dan impian Tung Dusem untuk membagikan uang kepada rakyat Indonesia dengan cara tersebut. Namun sayang oleh penyiar disebutkan lokasinya di Jakarta, padahal tepatnya di Serang.

Terlepas dari ide unik penerbit buku novel James Bond, Harry Potter atau pun Tung Dusem untuk memperkenalkan buku keluaran terbaru pada masyarakat. Acara launching buku merupakan saat penting yang merupakan salah satu kunci sukses lakunya buku di pasaran.

Sudah pasti saat diadakan launching buku dan media menyebar luaskannya, maka masyarakat mendapat informasi terbitnya buku tersebut. Ide- ide unik dalam meluncurkan buku ke pasar tentu saja akan mendapat kesan tersendiri dan menimbulkan curiosity (keingintahuan yang tinggi). Penasaran melihat keunikan launching bukunya, besar kemungkinan akan menarik masyarakat untuk membeli segera bukunya.
Di lain pihak, banyak penulis yang tidak mampu mengeluarkan biaya untuk mengadakan acara peluncuran buku. Akibat tidak ada dukungan biaya promosi dari penerbit atau pun penulisnya sendiri hidup kembang kempis.

Beberapa waktu lampau saya pernah ditawari beberapa potong kue coklat di toko buku di Athena. Sebelumnya saya berpikir, “kok tumben nih toko buku baik hati menyediakan kue?” Biasanya hanya air dan kopi yang selalu tersedia gratis. Setelah saya amati, ternyata disamping piring kue yang disajikan ada sebuah buku resep kue yang baru saja terbit. Jadi kue yang disajikan di toko adalah asli buatan penulisnya dan merupakan caranya meluncurkan buku.

Steven Blood seorang penulis naskah buku anak-anak, melelang naskahnya berikut hak ciptanya melalui e-bay di internet untuk mencari penerbit yang terbaik. Ada juga beberapa penulis atas izin dari penerbit melakukan promosi dengan cara memberi akses gratis beberapa halaman isi buku bahkan ada yang satu bab untuk didownload.

Di Indonesia sendiri saya melihat penerbit besar selalu memberi dukungan promosi dengan cara launching buku di mall dan resensi di media massa. Sedangkan penerbit menengah dan kecil, mulai merambah masuk ke kampus-kampus. Dan juga melakukan diskusi dan bedah buku di tempat-tempat yang gratis atau pun dengan cara win-win solutions.

Pengalaman pribadi, ketika meluncurkan buku pertama Perkawinan Antarbangsa; Love and Shock. Saya dan EO bergerilya mencari sponsor, sebab sesuai perjanjian dengan penerbit tidak ada bantuan dana promosi buku. Saya memilih tempat di Blizt dengan asumsi bahwa sasaran pembaca buku adalah anak muda dan remaja yang belum menikah.

Semuanya itu merupakan cara-cara unik dari sekian cara untuk mempromosikan buku agar menarik minat pembeli. Mungkin di masa datang akan muncul ide unik lain yang mungkin bisa disebut ide gila cara meluncurkan buku.

Megara, 2 Juni 2008.