Minggu, 06 September 2009

Nasib Nelayan Tradisional Yang Tak Menentu


Banyak kita sudah membaca kepahitan hidup nelayan Indonesia. Dari Sabang hingga Merauke nasib para nelayan tidak berubah. Jika saya boleh berpendapat profesi nelayan identik dengan kemiskinan absolut.

Di bawah ini saya kutip kisah seorang nelayan asal Aceh dari blog Masriadi Sambo.
DHEBIT Desliana, sibuk membenahi perahu miliknya di Desa Kampung Jawa, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe. Saban minggu, nelayan yang menggunakan ketek ini, terpaksa memperbaiki perahu miliknya.


Dia sudah mengusulkan bantuan pada Dinas Perikanan Kota Lhokseumawe, 28 November 2007 dengan nomor register proposal 250/01/KB/H65/2007. Awalnya, disebutkan akan mendapat bantuan tahun 2008. Namun, hingga kini bantuan itu tak kunjung datang.

Dalam salah satu berita di www.kabarindonesia.com pernah ditulis nasib nelayan Banten yang menunggu bantuan yang kabarnya akan diberikan oleh SET NET Jepang untuk mendongkrak hasil tangkapan nelayan. Namun hingga kini janji itu belum ditepati.

Kemudian saya kembali dikejutkan dengan rencana pengaplingan wilayah kelautan Indonesia. Seperti yang diberikan dalam Kompas online.

Terlepas apakah ini sudah dirancang jauh hari sebelum kemenangan Budiyono sebagai Wapres RI. Jelas rencana edan ini sangat-sangat Neolib. Nelayan tradisionil yang sudah terjerat rentenir, nelayan yang hanya melaut menggunakan kapal milik orang lain yang biasa disebut "Tuan Kapal". Nelayan tradisionil yang hanya menggunakan ketek dan perahu sederhana meyabung nyawa demi memenuhi kebutuhan keluarganya, akan semakin terpinggirkan oleh Pengaplingan Laut ini.

Bisa dibayangkan bagaimana semakin terpuruknya kehidupan nelayan, jika mereka baru saja melepas jala harus diusir dan bahkan kemungkinan ditangkap oleh patroli. Sebab belum mendapatkan hasil tangkapan, akibat menggunakan peralatan yang sederhana. Jika dibandingkan dengan pengusaha Jepang, Korea dan pengusaha Indonesia dll yang akan mendapat HPL (Hak Penggunaan Laut).

Semoga saja para wakil rakyat dan pemimpin negeri ini menyadari dosa dan kesalahan mereka. Sebelum membuat dosa lebih banyak lagi terhadap bangsa, rakyat dan negara tercinta Indonesia.



Pengaplingan Laut Mulai 2010

Hak Nelayan Tradisional Terancam

Sabtu, 8 Agustus 2009 | 03:59 WIB



Jakarta, Kompas - Pemerintah berencana melakukan pembagian zona
perairan mulai tahun 2010. Membagi perairan menjadi kapling-kapling itu
menjadi landasan untuk pemberlakuan hak pengusahaan perairan pesisir,
serta kluster perikanan tangkap.



Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil
(KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad, Jumat (7/8) di
Jakarta, mengemukakan, pihaknya akan memfasilitasi 20 kabupaten/kota
untuk menyusun rencana pembagian zona perairan mulai tahun 2010.
β€Zonasi perairan menjamin adanya perencanaan dalam pemanfaatan
perairan, selain memberi kepastian bagi pelaku usaha, termasuk nelayan
tradisional,β€ ujar Sudirman.



Menanggapi rencana itu, perwakilan masyarakat hukum adat, nelayan
tradisional, masyarakat pesisir, dan perempuan nelayan menandatangani
deklarasi β€Pernyataan Lombokβ€ 5 Agustus, yang menuntut rencana
pemberlakuan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) dan kluster
perikanan tangkap dihentikan. Hal itu dinilai akan menciptakan
privatisasi, monopoli, dan liberalisasi sumber daya kelautan dan
pesisir.
Mereka yang menandatangani deklarasi, antara lain, adalah Koalisi
Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Komite Pengelolaan Perikanan
Laut Lombok Timur, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), dan
Serikat Nelayan Indonesia.



Menurut Sudirman, pembagian zona perairan ditetapkan melalui peraturan
daerah guna mendorong transparansi dan akuntabilitas publik. Penetapan
pembagian zona wajib mengakomodasi kepentingan pelaku usaha, nelayan
tradisional dan masyarakat pesisir.



Dengan pembagian zona itu, wilayah laut dibagi menjadi empat bagian,
yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan nasional
strategis tertentu, dan alur pelayaran.



Penetapan pembagian zona perairan juga menjadi landasan bagi
pembentukan kluster usaha perikanan tangkap dalam alur perairan hingga
sepanjang 12 mil. Kluster usaha perikanan tangkap akan diterapkan tahun
2010 dengan uji coba di Laut Arafura dan Laut China Selatan.

Kluster itu memberikan hak eksklusif kepada pihak-pihak tertentu untuk
memanfaatkan sumber daya ikan di perairan.



Menurut Koordinator KIARA Abdul Halim, pembentukan HP3 dan kluster
perikanan tangkap bukti bahwa pengelolaan perairan hanya dipandang
sebagai ruang untuk mencari nafkah. Namun, mengabaikan laut sebagai
identitas budaya bangsa dan jalan hidup masyarakat adat dan pesisir
secara turun-temurun.



β€Tidak ada jaminan bahwa kepentingan masyarakat adat dan nelayan tradisional
akan diprioritaskan,β€ ujar Halim. (LKT)

Tidak ada komentar: