Minggu, 15 Juni 2008

Resensi Novel De Winst


Judul Buku: De Winst: Sebuah Novel Pembangkit Idealisme
Penulis: Afifah Afra
Penerbit: Afra Publishing, Indiva Media Kreasi
Waktu Terbit: Januari 2008
Halaman: 336; 20,5 cm
Harga:

SEMACAM apakah tatanan dunia tujuh puluh tahun yang akan datang, saat terjadi
pergantian milenium? Apakah peradaban akan disetir oleh kalangan yang paling
kuat secara ekonomi? Yang jelas, kehidupan saat ini hingga pada masa yang akan
datang telah disketsa oleh para pemuja De Winst.

Renungan Sekar Pembayun itu dengan galau menutup 22 bab plus epilog novel
sejarah karya Afifah Afra ini. Setahun sebelum cerita dipungkas oleh Sekar di
pengasingan, kisah bermula dengan kedatangan Rangga Puruhita dari pendidikan
sarjana ekonomi di Leiden, Belanda.

Pulang menyandang yudisium tertinggi, kecendekiaan Rangga langsung digedor oleh
ketertindasan kaum pribumi. Masuk sebagai bagian elite dalam sistem ekonomi
kapitalisme pabrik gula, tak cukup membuat perbaikan menjadi nyata. Perjuangan
dari dalam terlalu mempermainkan kesadaran akal sehatnya. Hingga di puncak
pembelaan terhadap warga yang menuntut keadilan harga sewa tanah, Rangga justru
mendapat putusan pecat. Pertemuan dengan Eyang Haji dan usahawan muslim turut
menguatkannya untuk memilih jalan lain yang lebih leluasa dan berdampak nyata:
perlawanan dengan pemberdayaan.

Pematangan kesadarannya itu, sedikit banyak dipengaruhi oleh interaksi dengan
Kresna (misterius), Pratiwi, Sekar, dan Jatmika yang lebih dulu terlibat dalam
perjuangan Partai Rakyat. Salah satu sulut buat Rangga juga ialah kehadiran
sosok antagonis, Jan Thijsse yang menjadi kepala pabrik gula baru dengan
kapitalisme destruktif dan mental penjajah tulen. Belum lagi fakta bahwa Thijsse
ternyata suami Kareen, sosok wanita Belanda yang pernah menarik hati Rangga
ketika sekapal dalam perjalanan pergi-pulang Indonesia-Belanda. Ditambah dengan
kisah tradisi keraton yang menjerat Rangga dan Sekar, maka seiring itu pula
kisah cinta merambatkan julur dan membelit-belit jalan cerita.

Tanpa bertopeng kata, novel ini jelas menghadirkan tiga ideologi sekaligus:
Islam, kapitalisme, dan sosialisme-marxisme (bukan komunisme). Memang inilah
ideologi yang menyemangati panggung sejarah Indonesia jelang kemerdekaan-
-kecuali kapitalisme (dan imperialisme) sebagai musuh bersama. Soekarno dalam
Suluh Indonesia Muda (1926) menyebutnya (plus nasionalisme) sebagai tiga sifat
bagi "njawa pergerakan rakjat" di Indonesia dengan maksud sama: Indonesia
merdeka (Soeripto, 1962).

Sayangnya, novel yang telanjur eksploratif dan mencerahkan ini belum
habis-habisan dalam menguak keempat isme itu. Penyebutan nama terkait ideolog(i)
besar dunia pun masih terkesan cuma selayang pandang. Kecuali memang,
kapitalisme jelas jadi bulan-bulanan. Ini pun seperti tanpa "pembelaan" memadai,
karena ideologi mendunia itu dipersonifikasikan secara berlebih kepada moralitas
seburuk Jan Thijsse.

Kapitalisme sendiri terlembaga dalam pabrik gula. Secara ekonomi, industri ini
memang memberi kemakmuran luar biasa kepada Belanda. Hanya, harapan untuk
menemukan kiprah terorganisasiperger akan muslim dalam novel karya peraih FLP
Award 2002 ini, justru masih belum cukup terpuaskan. Padahal dengan latar pabrik
gula, pembaca seakan digoda dengan ingatan sejarah perlawanan pesantren di
nusantara yang sepertinya belum banyak mengemuka. Kawasan pakauman yang biasanya
berdiri "menantang" di dekat pabrik gula dapat menjadi indikasi awalnya.

Secara keseluruhan layak diakui, De Winst relatif mampu menyegarkan beragam hal
secara reflektif utamanya seputar visi kemajuan, misi kemandirian, intensi
keadilan, dan obsesi kesejahteraan berkerangka keindonesiaan dan tantangan
globalisme. Kesemuanya benar-benar dalam atmosfer idealisme, dan sesuai dengan
kadarnya, juga romantisme.

Kalau Deddy Mizwar sempat risau, sebab belum ada lagi film baru bertema
kebangsaan di momen 100 tahun kebangkitan nasional seperti sekarang (sehingga
menayang ulang Nagabonar), maka dari dunia novel, karya penulis FLP ini seolah
turut menjawab kerisauan itu--dan mungkin kerinduan kita semua. (Zaki
Fathurohman, mahasiswa Institut Pertanian Bogor)***

Catatan tambahan resensi Hartati Nurwijaya;
Karena saya belum membeli buku ini disebabkan kendala lokasi di luar Indonesia. Namun saya mencoba memberikan sedikit resensi bagi kafer Dew Winst. Sangat disayangkan jika isi buku Dew Winst yang sangat menarik, tidak diimbangi oleh design kafer yang bagus. Warna kafer buku ini sangat gelap dan dari gambar yang ditampilkan tidak menunjukkan bawah ini novel sejarah yang berbau politik. Dari kafernya tampak lebih seperti novel percintaan yang buram dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan isinya.

Sumber:
http://newspaper. pikiran-rakyat. co.id/prprint. php?mib=beritade tail&
id=17362

1 komentar:

infogue mengatakan...

artikel anda bagus dan menarik, artikel anda:
Artikel buku terhangat
Artikel anda di infogue

anda bisa promosikan artikel anda di http://www.infogue.com/ yang akan berguna untuk semua pembaca. Telah tersedia plugin/ widget vote & kirim berita yang ter-integrasi dengan sekali instalasi mudah bagi pengguna. Salam!