Selasa, 25 Maret 2008

PERKAWINAN ANTARBANGSA DALAM PERSPEKTIF PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Oleh: Sofia Hardani (Dosen Universitas Islam Negeri Pakanbaru)
Disampaikan dalam Diskusi dan Seminar Buku LOve and ShOck
Nopember 2007 di Gedung BKOW Pakanbaru


A. Pendahuluan

Perkawinan adalah ikatan yang suci dan sakral antara seorang laki-laki dan perempuan. Lembaga ini merupakan sarana yang paling aman dan efektif untuk mengendalikan keinginan biologis manusia, dan ini juga merupakan pembeda antara manusia dengan hewan. Disamping itu, secara sederhana, perkawinan bermaksud mengembangkan keturunan dan meneruskan kehidupan masa depan umat manusia.
Perkawinan dapat terjadi atas dasar suka sama suka antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Perasaan tertarik dan suka dapat menembus ruang dan waktu, tanpa membedakan etnis budaya, usia, kebangsaan, bahkan agama.
Perkawinan antar bangsa, belakangan bukan merupakan hal yang baru lagi karena perkembangan kebudayaan, ilmu, dan teknologi telah memnjadikan masyarakat dunia dapat saling berkumanikasi dan bersosialisasi, baik langsung maupun melalui media telekomunikasi. Perkawinan antar bangsa --bisa juga disebut perkawinan campuran—sesungguhnya adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda kebangsaan atau kewarganegaraan, berbeda keyakinan (agama), dan berbeda asal keturunan.
Dalam term Indonesia, berdasarkan UU RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan didefinisikan sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang sejahtera, bahagia, dan kekal di kemudian hari.”
Term tersebut mengisyaratkan bahwa suatu perkawinan dilakukan untuk mempererat ikatan batin, disamping ikatan secara lahiriyah, antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Tujuan ikatan tersebut adalah untuk mewujudkan kebahagiaan kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan, kebahagiaan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu, juga kebahagiaan orang-orang yang terkait dengan perkawinan tersebut, dan masyarakat secara lebih luas. Kebahagiaan dicita-citakan diperoleh oleh manusia untuk selamanya, bukan untuk sementara waktu.
Di dalam Undang-Undang Perkawian R.I. No. 1 tahun 1974, terdapat 6 prinsip tentang perkawinan:
a. Prinsip bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri harus saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan mental.
b. Suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Asas perkawinan adalah monogami. Tetapi apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agamanya mengizinkan, seorang suami boleh beristri lebih dari seorang.
d. Calon suami dan istri harus matang jiwa dan raganya. Agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan dan mendapat keturunan yang sehart dan cerdas.
e. Mempersulit terjadinya perceraian, karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
f. Hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami, dalam rumah tangga maupun dalam pergaulan di masyarakat, sehingga segala sesuatu dapat dirundingkan dan diputuskan bersama. (Abdurrahman: 1992)

B. Perempuan dalam Realitas Budaya Masa Lampau
Fakta sejarah mengungkapkan bahwa kaum perempuan tidak berdaya dalam menghadapi budaya patriarkhi dan androsentris yang ada.
Dalam kebudayaan Yunani kuno, salah satu negara yang diagraph maju kebudayaannya, perempuan tidak mempunyai hak apapun selain sebagai objek nafsu laki-laki. Bahkan, Aristoteles pernah mengutuk bangsa Asbarata karena dianggrap terlalu banyak memberi kemudahan bagi perempuan yang digauli dan memberikan hak kepada mereka melebihi ukuran yang lazim. Dalam Undang-Undang Yunani Kuno, kaum laki-laki dibolehkan menikahi atau memiliki perempuan tanpa batasan jumlah, yang nanti dibagi kepada tiga kelompok: istri-istri sah, istri setengah sah, dan perempuan yang hanya dijadikan sebagai pemuas nafsu. Perempuan benar-benar dihalangi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, apalagi untuk mengadakan aktifitas sosial. (lihat The Spirit of Islam, hal. 222-223)
Kaum perempuan bangsa Romawi mengalami nasib yang sama buruknya. Poligami bagi mereka merupakan kebiasaan yang turun temurun dan dibanggakan. Perkawinan bukanlah hal penting, tetapi hanya suatu rutinitas yang tak berarti. Ungkapan mereka bagi perempuan: “ikatannya tak akan putus dan belenggunya tak akan lepas”. Poligami tanpa batas juga dilegalisasi pada masyarakat Hindu, Midiyyin, Babilonia, Asyuwariyyin, dan Parsi.
Dalam masyarakat India, seorang wanita tidak mempunyai hak apapun juga, bahkan hak untuk hidup. Jika seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya, ia harus rela dibakar hidup-hidup, menceburkan dirinya kedalam api yang membakar mayat suaminya.
Ahmad Ajaif, seorang penulis Turkistan, mengatakan bahwa dalam masyarakat Parsi, yang diagraph berkebudayaan tinggi, kedudukan wanita tak ada beda dengan budak. Selama hidup mereka terkurung dalam tembok rumahnya atau rumah suaminya. Mereka baru dapat keluar rumah jika mereka diperjualbelikan di pasar. Bangsa Parsi memberikan kekekasan penuh kepada laki-laki untuk mengawini siapa saja yang ia sukai, bahkan ibu, bibi, dan saudara-saudaranya sendiri. Seorang perempuan akan terusir dari rumahnya ketika sedang haid. Mereka ditempatkan di tenda-tenda yang disebut dakhimi di luar kota, dan baru boleh kembali jika sudah suci. Jika suami merasa perlu melihat istrinya, maka mereka menyumbat lubang telinga dan hidung, melapisi tangan dengan kain. (Huququl Mar’ati fi al-Islam, hal. 27-28)
Menjelang keruntuhan Rumania – dibawah undang-undang dan ajaran Masehi – masyarakatnya diliputi kecendrungan mewah dan pemuasan nafsu syahwat. Perempuan pada waktu itu bebas keluar rumah untuk bersenang-senang dan bercampur dengan lelaki manapun yang ia sukai. Keadaan demikian akhirnya memunculkan paham zuhud dan membenci keturunan, karena jasad dan keturunan dianggap najis. Mereka mengutuk kaum wanita, dan beranggapan bahwa menjauhi perempuan adalah kebaikan dan mendapat pahala. Sebagain berpendapat bahwa kaum perempuan adalah jasad dan ruh yang mengajak kepada kehancuran, dan sebagian lagi berpendapat bahwa perempuan menjauhkan dari keuntungan dan keselamatan. Mereka mencela semua wanita keturunan Hawa, kecuali Maryam (al-Mar’ah fi al-Qurăn, hal. 54)
Demikian pula dalam kebudayaan Arab pra-Islam, penguburan bayi perempuan hidup-hidup dipandang sebagai perbuatan yang paling keji dalam sejarah moralitas dan kemanusiaan. Padahal sebagian bangsa Arab menganggap hal itu sebagai suatu kebanggaan. Setelah datang syari’at Islam, sebagian sahabat Nabi masih ada yang sulit meninggalkan kebiasaan membenci anak perempuan. Amru bin Ash pernah berkata kepada Muawiyah bin Abi Sufyan ketika Muawiyah sedang menggendong bayi perempuannya: “Jauhkan ia dari tanganmu, demi Allah, sesungguhnya anak perempuan hanya akan melahirkan banyak musuh, mendekatkan orang-orang yang asing bagi kita, dan selalu menyebabkan permusuhan dan perselisihan.” Akan tetapi Muawiyah mengingatkan Amru bin Ash: “demi Allah, tidak ada orang yang merawat orang sakit, tidak ada orang yang meratapi keluarga yang kematian, dan tidak ada orang yang mau menolong dan menemani orang yang sedang sedih seperti perempuan. Betapa banyak kemenakan perempuan yang memberikan manfaat bagi pamannya.” (al-Mar’ah fi al-Qurăn, hal.54-56)
Kehidupan terus berjalan, dan perkembangan peradaban dan intelektualitas manusia sedikit-demi sedikit mengubah tatanan yang ada menjadi spirit bagi kebangkitan dan kemajuan perempuan.

C. Pemberdayaan Perempuan
Gerakan perempuan (women movement) yang telah berkembang menjadi banyak aliran (seperti: Liberal Feminisme, Radikal Feminisme Marxisme Feminisme, dan Feminisme Sosialis) sesungguhnya berasal dari suatu asumsi, yaitu ketidakadilan, adanya proses penindasan dan eksploitasi. Meskipun pada proses berikutnya terjadi perbedaan paham mengenai apa, mengapa, dan bagaimana penindasan dan eksploitasi itu terjadi, namun sesungguhnya ada kesamaan paham bahwa hakikat perjuangan perempuan adalah demi kesamaan, egality, dignity, dan kebebasan untuk mengontrol kehidupan.
Dengan keyakinan tersebut, dalam rangka mewujudkan struktur masyarakat yang lebih adil dan makmur, maka perempuan dan laki-laki harus bergerak dan berjuang bersama menuju pemerdekaan-pemerdekaan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, tanpa memandang differensiasi antara manusia dengan manusia.
Akan tetapi, perjuangan akan persamaan hak untuk diperlakukan secara adil antara laki-laki dan perempuan (gender) tersebut, khususnya di Indonesia, mendapat sandungan dari berbagai aspek, yang kesemuanya terbungkus dalam suatu kebiasaan yang membudaya. Akibatnya perempuan sampai saat ini masih berada pada pihak yang selalu harus kalah dan mengalah.
Istilah Pemberdayaan Perempuan muncul dari keprihatian terhadap ketidakberdayaan kaum perempuan tersebut, dan “ketidakberdayaan” bukan berarti bahwa perempuan tidak mampu berdaya upaya, tetapi lebih disebabkan pada faktor penyebab ketidakberdayaan, yaitu situasi dan kondisi yang disetting sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kultur dan budaya.
Di dalam masyarakat berkembang anggapan -- bahkan sepertinya sudah menjadi suatu ideologi -- bahwa perempuan dianggap sebagai “orang rumah”, yang bermakna bahwa dunia kehidupan perempuan semuanya ada di rumah (sektor domestik), aktifitasnya terbatas hanya pada sumur, dapur, dan kasur. Seorang perempuan harus tunduk dan patuh kepada suami, ia tidak boleh membantah, apalagi melawan kehendak suami. Dalam istilah Jawa, seorang perempuan harus “surgo manut neroko katut” terhadap suaminya.
Dalam kebanyakan masyarakat, suami adalah orang yang memiliki kekuasaan dan otoritas pembuat keputusan dan memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga lainnya. Ketika laki-laki berbuat sebagai seorang pemimpin yang sangat berkuasa atas perempuan (istrinya), perempuan menurut dengan alasan takut menyalahi aturan adat dan “agama”.
Akibatnya adalah:
a. Perempuan tidak bisa berkembang dan tidak mendapat kesempatan serta peluang peran produktif
b. Perempuan menjadi bergantung kepada nafkah yang diberikan suami, dan tidak memiliki ketrampilan dan pengalaman yang sebanding dengan suami
c. Dalam keluarga kurang mampu, perempuan harus melakukan tugas ganda, yaitu mengurus rumah dan mencari nafkah dengan kemampuan dan ketrampilan yang terbatas, sementara laki-laki hanya mencari nafkah tanpa dibebani dengan tugas rumah tangga.
Kondisi yang timpang diatas rentan menimbulkan problematika keluarga yang sangat beragam dan kompleks, dan berbuntut pada perceraian. Dari data yang diperoleh di Pengadilan Agama Pekanbaru, penyebab terbesar konflik keluarga berasal dari pihak suami. Hal ini terbukti dengan perbandingan yang tidak seimbang antara permohonan cerai thalak dengan cerai gugat.
Kekuasaan suami yang tinggi terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem keuangan. Margaret Benson menyatakan bahwa suatu masyarakat dimana uang lebih menentukan nilai, perempuan adalah kelompok yang dianggap bekerja di luar ekonomi. Oleh karena itu, menurut Gillespie, untuk meraih kesuksesan, seorang istri harus mempunyai sumber keuangan. Ia harus berpartisipasi dalam ekonomi dan tingkat pendidikannya harus setara dengan suaminya, atau bahkan lebih. Hal tersebut berarti bahwa pemberdayaan perempuan adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan.
Perkawinan antar bangsa, dalam perspektif pemberdayaan perempuan, disatu pihak merupakan pengakuan terhadap hak perempuan untuk memilih pasangan hidup, dan penggunaan hak perempuan untuk mengembangkan diri di luar budayanya. Hal ini sesuai dengan prinsip unity dan equality diantara manusia. Akan tetapi, oleh karena kompleksnya permasalahan yang mungkin timbul setelah perkawinan berlangsung, kaum perempuan semestinya jeli untuk mengantisipasi keadaan yang akan merugikan diri sendiri. Antisipasi adalah berupa pengindahan akan peraturan perundang-undangan maupun aturan agama.

D. Perkawinan Antar Bangsa dalam Perspektif Islam
Islam, sebagai agama universil, memandang manusia sebagai satu kesatuan umat yang danjurkan untk saling mengenal, berkomunikasi, dan menjalin silaturrahmi (QS, Al-Hujarat ayat 13). Dalam perkawinan, Islam tidak mempersoalkan faktor perbedaan keturunan, bangsa dan kewarganegaraan. Yang menjadi persoalan hanyalah faktor agama. Dalam surat Al-baqarah ayat 221 disebutkan: “Jangan kamu mengawini perempuan-perempuan musyrik kecuali jika mereka telah beriman; budak perempuan yang beriman lebih baik dari perempuan merdeka yang musyrik, meskipun kamu tertarik kepadanya.”
Rasulullah mengajarkan bahwa “perempuan dikawini karena pertimbangan empat faktor: kekayaan, keturunan, kecantikan, dan agama. Utamakanlah faktor keyakinan agama, maka kamu akan beruntung.(H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Dalam kesempatan lain Nabi mengajarkan: “Jangan kamu mengawini perempuan karena kecantikannya, sebab kecantikan itu mungkin akan menjerumuskannya kepada kerendahan budi, jangan pula kamu mengawininya karena kekayaannya, sebab kekayaan itu mungkin akan menariknya untuk perbuatan yang tidak layak, tetapi kawinilah perempuan atas pertimbangan keyakinan agama, sungguh budak perempuan yang beragama, meskipun terpotong telinganya dan berkulit hitam, lebih utama dari perempuan musyrik.” (HR Ibn Majjah dari Abdullah ibn ‘Amr).
Perempuan musyrik yang dimaksud adalah perempuan yang percaya kepada Tuhan selain Allah. Larangan mengawini perempuan tersebut terutama dimaksudkan untuk memelihara keyakinan agama, baik bagi suami, maupun anak-anak. Karena menanamkan keyakinan kepada anak-anak yang ibunya beragama lain selain Islam tentulah menemukan kesulitan yang besar.
Kebalikannya, Islam tidak membenarkan perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non muslim: mereka (perempuan mukmin) tidak halal menjadi istri laki-laki kafir, dan mereka (laki-laki kafir) tidak halal menjadi suami mereka (perempuan mukmin) (QS. Al-Muthmainnah ayat 10).
Perkawinan antar bangsa, selama berada dalam satu keyakinan agama, dibenarkan oleh Islam, selama perkawinan yang dilakukan bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, dan kekal.
Islam melarang bentuk-bentuk perkawinan mut’ah (perkawinan kontrak), perkawinan muhallil (perkawinan yang terjadi untuk dapat kembali kepada bekas istri atau bekas suami yang sudah di thalak tiga kali) perkawinan sighar (perkawinan bersyarat untuk pertukaran perempuan), dan perkawinan misyar (perkawinan yang bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan biologis), karena tidak sesuai dengan hakikat dan tujuan perkawinan yang sesungguhnya.

E. Penutup
Perkawinan yang terjadi antara dua orang yang berlainan kebangsaan/ kewarganegaraan merupakan fenomena yang mengarah kepada konsep persamaan dan kesatuan umat manusia (equality, unity). Meskipun demikian, perkawinan antar bangsa, harus berlandaskan kepada satu komitmen bersama tentang perimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri dalam keluarga. Demikian juga komitmen terhadap akibat-akibat yang mungkin timbul dikarenakan perkawinan tersebut, seperti masalah keuangan rumah tangga, pendidikan dan pemeliharaan anak. Komitmen yang dibuat tentunya berdasarkan peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku, termasuk ketentuan agama.
Setiap perkawinan jika dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang dirumuskan di dalam Undang-Undnag Perkawinan RI (UU No. 1 Th. 1974) yang juga merujuk kepada prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam, akan melindungi hak-hak kaum perempuan dari perlakuan subordinasi dalam perkawinan. Demikian juga halnya dengan perkawinan antar bangsa, hendaknya dilakukan upaya antisipatif sebelum perkawinan dilangsungkan, mengingat permasalahan yang mungkin timbul selama perkawinan disebabkan perbedaan kebiasaan, tradisi, cara pandang, maupun karakter masing-masing.

2 komentar:

danu untaria mengatakan...

CINTA ternyata memang menembus ruang dan waktu. SELAMAT BERKARYA DALAM CINTA. SALAM SUKSES.

Susy Barrat mengatakan...

Selamat atas keluarnya buku yg bisa menampilkan perkawinan beda bangsa dari berbagai sudut..
Sukses selalu!!!